Bab. 14 --

8 2 1
                                    


Rasa dingin begitu terasa di sini, di tambah di depanku sekarang berdiri sesosok pria yang membuatku tubuhku menjadi beku.
Aku memegang tangan Feloxa erat. Aliran hangat yang tercipta dari bulu - bulu Feloxa sedikit ampuh mengusir dingin yang sudah meresap ke dalam tubuhku. Aku masih terdiam memandangi Leanor yang masih dengan tajam memandangiku.

"Ha..hai.." kataku kikuk. Feloxa mengangguk hormat padanya.

"Kau?" tanya Leanor kepada Feloxa.
"Saya Feloxa tuan, saya melayani nonaMarion di Zena. Dengan segala hormat saya meminta maaf karna dengan sengaja mendampingi nona. Tapi saya pun memiliki tujuan untuk menemui beberapa teman saya di sini. Bolehkah?" kata Feloxa seraya menundukkan kepalanya lagi dengan penuh hormat.

"Hmm..tentu saja boleh. Minta pada salah satu pengawal ku di depan untuk mengantarmu ke tempat tujuan." kata pria itu ramah.
"Baik, terima kasih banyak, tuan Leanor." kata Feloxa kembali dengan raut begitu berbinar.

"Nona Marion, boleh saya tinggal sebentar ya. nanti saya kembali lagi." kata Feloxa padaku yang langsung aku suguhi dengan mataku yang melotot kesal kepadanya.
"Apa maksudmu. Kau ingin meninggalkan aku dengan dia berdua." bisikku kesal pada hewan berbulu ini.
"Tuan Leanor tidak akan memakanmu." jawabnya asal dan langsung pergi begitu saj meninggalkanku.
"Feloxaaa..!" aku memanggil namanya sedikit berteriak saat tubuh gempal berbulu itu menghilang di balik pintu. Dan kemudian langsung mengendalikan diriku sendiri, karna di depanku masih berdiri dengan tenang pria yang justru membuatku tidak tenang.

"Siapa namamu?" tanyanya tiba - tiba.
"Kau kan sudah tahu." jawabku.
"Hanya Marion?" tanyanya lagi.
"Marion Dyane Atmaja. 17 tahun, tinggi 165cm, berat 58kg, gak suka sama udang dan gak suka sama kopi. Aku suka sama hujan tapi sayang di sini gak ada hujan." jawabku asal.

"Hahahahahaha..." terdengar tertawa melengking dari balik pintu di belakang Leanor. Saat pintu itu terbuka muncullah sesosok pria yang memiliki fitur wajah yang sama dengan pria dingin di hadapanku ini. Duxi muncul dari balik pintu dan langsung saja dengan santai merebahkan diri nya di sofa panjang berwarna silver metalik yang berada di ruangan besar ini.

"Duduklah sini." tawar Duxi padaku. Aku tersenyum dan masih berdiri mematung.
"Tenanglah, kau tak perlu takut padanya." kata Duxi lagi sambil tangannya menunjuk Leanor yang masih berdiri menatapku. Aku tersenyum kikuk.

"Baiklah." Kataku dan melangkahkan kaki ku menuju sofa panjang itu. Aku dapat merasakan mata biru milik Leanor memindai semua gerakanku. Sampai aku sudah dalam posisi duduk pun pria itu masih menatapku.

Karna situasi yang tidak terlalu nyaman untukku, aku kembali berdiri.
"Maaf, tuan Leanor. Aku tidak terlalu suka di tatap seperti itu. Kalau maksud tujuanmu membawaku kesini akan memberikan hukuman untukku, katakanlah, hukuman apa yang harus aku terima." Kataku berani sambil membalas tatapan matanya yg tajam. Kulihat ada seringai senyum yg tercipta dari bibir tipis kemerahan itu. Dia melangkahkan kakinya menuju sebuah sofa di depan ku. Dia mendudukkan dirinya di sana.

"Duduklah dengan santai." Katanya setelah sekian lama membuat aku salah tingkah.
"Hmm, tidak ada hukuman untukmu, Marion. Aku hanya mengundangmu saja sekedar ingin tahu." Katanya lagi.

"Ingin tahu? Ingin tahu tentang apa? Aku kan bukan mata - mata." Kataku. Dia tersenyum lebar. Duxi terkikik di sebalahku.

Suasana di sini benar - benar di luar dugaanku. Ku kira aku akan mendapatkan perlakuan kejam oleh para manusia robot di sini. Tapi sungguh di luar dugaanku, mereka terlihat begitu santai dan bahkan konyol seperti pria di sebelahku ini.

"Apa kau suka tinggal di Ares?" Tanya Leanor.
"Sedikit suka. Mungkin karna aku baru di sini jadi belum terbiasa. Terlebih dengan waktu di sini. Berlalu begitu cepat." Jawabku 

"Jadi sekali lagi, mengapa kau ingin aku berkunjung ke sini kalau kau tidak ingin menghukumku?" Kataku mencoba berani.
"Karna yang aku tahu, siapa saja yang melanggar aturan di Planet ini akan menerima hukuman di Briox." Lanjutku. Pria di depanku mengangguk.

"Ya memang benar. Pengecualian untuk kau." Dia menunjukku dengan dagu nya.

"Aku, kenapa dengan aku?" Tanyaku penasaran. Pria itu terdiam memandangku.

"Kau mau ku ajak berkeliling?" Katanya tiba - tiba membahas hal lain. Kali ini aku yang terdiam. Duxi menyenggol lenganku. Aku mengangguk.

Terdengar ketukan pintu dari luar. Seorang wanita berwajah cantik memasuki ruangan ini. Sepintas tak ada yang aneh, namun jika diperhatikan semua bagian badan sebelah kiri wanita ini adalah robot. Mulai dari tangan sampai ke kaki kirinya. Hanya wajahnya saja yang terlihat normal. Dia memakai seragam khas seperti di film star trek, jadi bagian yang kurang dalam diri nya tidak terlihat.

"Semua sudah siap, Tuan." Kata wanita itu tersenyum kepada Leanor. Lalu memandangku. Entah mengapa aku merasa ada tatapan sinis di sana. Ah, entahlah.

"Baik. Trimakasih Luna." Oh, namanya adalah Luna. Setelah aku perhatikan, penghuni Briox ini cantik dan tampan. Saat memasuki ruangan ini pun, banyak penjaga di luar sana yang memilik wajah - wajah yang tampan.

"Ayo kita berangkat." Kata Leanor. Aku memandanginya.
"Kita akan kemana?" Tanyaku.
"Kau penasaran bukan dengan kota ku ini." Aku mengangguk.
"Ayo kita pergi." Katanya lembut, berdiri, mengampiriku dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku masih memandanginya, diam terpaku.

New Life in The AresWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu