BAB. 3 -- Heler

10 2 2
                                    

Bunyi jam berdentang 2x. Sampai jam 2 dini hari mataku tetap tidak mau bekerjasama. Rasa khawatir berlebihan memenuhi kepalaku. Bayangan kehidupan baruku disana akan seperti apa. Itu sangat menakutkan.

"Marion, lekas! Ayo kita berangkat." Panggilan Ayah membuyarkan lamunanku. Aku sedikit terkejut ditambah ketakutanku sudah melebihi level tertinggi, membuat tubuhku tidak stabil. Kepalaku sangat sakit. Sehingga membuat tubuhku oleng dan terjatuh di lantai.

"Mari! Kamu tidak apa-apa, Nak?" Ibuku yang menghampiri terlihat begitu khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Bu. Hanya sedikit pusing." jawabku.
"Apa kau tidak tidur?" tanyanya.
"Aku tidak dapat tidur. Perasaanku sangat cemas. Aku sangat takut, Bu." aku pikir aku kuat menerima semua, ternyata dalam hatiku terdalam aku begitu takut. Takut menghadapi semua yang akan terjadi dengan kehidupanku di depan nanti. Kehidupan baru yang asing. Terlebih aku harus meninggalkan semua yang aku sayangi disini. Meninggalkan Bumi untuk memiliki kehidupan baru untukku sendiri. Tanpa teman-temanku, tanpa keluarga ku yang lain, meninggalkan semua ke bahagiaanku di Bumi. Betapa sangat egois. Tapi begitulah hidup. Ada pertemuan pasti pula ada perpisahan. Aku terisak hebat.

"Tenangkan dirimu, Mari." Ayah menghampiriku dan memberikan sebutir pil berwarna orange kepadaku.
"Apa ini, Ayah?" tanyaku.
"Apa ini obat yang akan membuat aku dan Ibu berhibernasi?" lanjutku.
"Bukan. Ini hanya vitamin. Ayo, pulihkan dirimu segera. Sebentar lagi kita akan berangkat, kau harus benar-benar mempersiapkan mentalmu." kata Ayah.
"Meskipun saat ini kau butuh tenaga, tapi kau tetap harus puasa makan. Khawatir saat kau menaiki Heler, kau akan mengalami muntah hebat. Jadi lebih baik kosongkan saja perutmu. Aku langsung meminum vitamin yang Ayah berikan padaku, tak lupa mengatur nafas ku agar stabil kembali.

"Ayo, kita ke ruang bawah tanah segera. Prof. Gian dan beberapa teman Ayah dan ratusan manusia lain yang ikut misi Ares ini pun sudah bersiap. KIta jangan sampai ketinggalan." Ayah memimpin Aku dan Ibu menuju ruang bawah tanah.

Belum sampai mencapai tangga terakhir, cahaya seperti lampu sorot yang sangat terang menyinari ruang bawah ini. Lampu itu berasal dari pintu tersegel yang saat ini terbuka lebar.

"Pakai kacamata ini." perintah Ayah sambil memberikan dua buah kacamata berwarna biru gelap berbentuk seperti kacamata renang kepada aku dan Ibu. Ayah menyebutkan bahwa kacamata tersebut dapat mengurangi sakit saat terkena sinar menyilaukan dari kapsul Heler.

"Saat kalian sudah berada di dalam Heler, minumlah ini." kapsul berwarna biru kehijauan Ayah berikan kepada kami. Inilah akhir dari prosesnya. Pil biru ini yang akan membawa kami 'berhibernasi' selama beberapa hari saat kami berada disana sampai tubuh kami benar-benar siap menerima kondisi alam di Planet baru.

Dengan perasaan yang campur aduk kami masuk kedalam Heler. Didalam sana ternyata terdapat 3 buah telur kapsul, memanjang seperti tempat tidur. Terdapat tutup yang terbuat dari kaca yang mengelilinginya. Ada pula semacam sabuk pengaman dari atas dada sampai ke bawah kaki kami. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana cara kerja benda ini hingga nanti kami bisa sampai menjelajah ke Luar Angkasa, berkendara menuju Ares. Entahlah, akan aku tanyakan semua itu pada Ayah jika kami selamat sampai tempat tujuan. Ah, ini sangat begitu menegangkan!.

Aku memeluk tubuh Ibu dengan saat erat, sekedar meminta sedikit kekuatan agar aku dapat lebih tenang. Ya, siapa yang tahu kan, alat yang Ayah banggakan ini rusak dalam perjalanan nanti dan kami hancur di Luar Angkasa sana. Aku tidak dapat lagi bertemu dengan Ayah dan Ibuku.
"Aku menyanyangimu, Bu." kataku. Ibu balas memelukku erat.
"Ibu juga menyanyangimu, Marion. Sampai bertemu disana, ok!" jawab Ibu dan membalas pelukanku dengan erat.
Aku pun menuju Ayah dan memeluknya.
"Jangan khawatir, kita akan selamat dan bertemu kembali dalam keadaan utuh dan sehat." kata Ayah, lantas membimbingku menuju kapsul Heler dan membantuku meminum pil biru yang Ayah berikan. Lantas membantuku berbaring dan memasangkan sabuk pengaman untukku. Dipasangkannya juga didada ku alat EKG untuk mengetahui kondisi jantungku, Tak lupa selang oksigen yang dipasangkan untukku. Ayah bilang, di Ares agak sedikit sesak jika baru pertama kali menginjakkan kaki disana. Ayahpun menuju Ibu dan membantu Ibu seperti yang Ayah lakukan padaku tadi.

"Kalian siap?" tanyanya.
"Apa sudah merasa mengantuk?." lanjutnya lagi. Aku dan Ibu mengganguk. Lalu Ayah menutup pintu kapsul yang terbuat dari kaca dan menguncinya dengan kencang dari dalam. Lalu Ayah menuju ke sebuah tempat berisi banyak alat-alat yang pernah aku liat di film-film antariksa. Setelah menekan beberapa tombol, Ayahpun melakukan apa yang tadi Ayah lakukan pada aku dan Ibu. Dia pun berbaring dikapsul dan menutupnya.

Tak berapa lama, tubuhku mulai merasakan guncangan. Kepalaku sangat pusing, telingaku menahan suara bising yang begitu menganggu. Lalu perlahan-lahan terlihat seperti gulungan awan hitam datang menghampiriku. Melekat erat seakan menembus masuk kedalam pori-pori di seluruh tubuhku. Aku masih bisa merasakan tubuhku seperti di tindih ribuan besi, rasanya sangat menyakitkan. Yang ku ingat terakhir adalah, tubuhku tertarik memanjang lalu terlempar jauh...jauuuuuh sekali hingga aku tak dapat merasakan sakitnya lagi dan aku tertidur dalam damai. Entah, apakah nanti aku masih hidup ataukah aku nanti sudah mati.

Semoga aku, ibu dan Ayah, selamat sampai Ares. SEMOGA!

New Life in The AresTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon