15. Terpesona

229 67 2
                                    

(Yang perlu kalian tahu, melanjutkan cerita adalah hal yang sulit, dari pada memulai dan mengakhirinya.)

Terima kasih yang masih setia menunggu :)

***

"Lo mau apa lagi?" Sayang mendongak, bola mata berbeda warna itu saling tatap. "Belum puas, nyakitin gue?"

Zinidan menyunggingkan senyum. Wajah tampan yang dulu selalu Sayang rindukan, kini terlihat memuakkan untuk ia tatap.

"Malam itu, lo, kan?"

"Maksud, lo?" tanya Sayang tak mengerti.

Zinidan mengelus pipi Sayang lembut, memainkan emosi perempuan itu. "Lo nolongin Abizar, dan ngancem kita?" pertanyaan Zinidan berhasil membuat wajah Sayang pias.

"Jawab!" lelaki itu menggenggam rambut Sayang. Menariknya sehingga wajah Sayang semakin mendongak. "Udah mulai berani, lo?"

"Sejak kapan gue gak berani sama lo?"

Zinidan mencebikkan bibirnya, wajah lelaki itu semakin menunduk. Hidung minimalis Sayang hampir menyentuh hidung Zinidan.

Tangan Sayang mendorong wajah lelaki itu. "Mulut lo bau, jangan deket-deket gue!"

"Dan kalo itu gue, kenapa?" tantang Sayang.

Suasana remang-remang di taman rumah Galalea, mendukung pertengkaran mereka.

"Lo mau cari mati."

"Gue bakalan mati tanpa nyari mati!"

"Keras kepala!"

"Egois. Banci. Gak bertanggung jawab!" Maki Sayang dengan emosi menggebu-gebu.

"Lo jalang.!" ujar Zinidan dengan rahang mengeras.

Sayang mengeram marah, tangannya terkepal kuat. Susah payah perempuan itu menelan salivanya.

Plak

Plak

Semua amarah yang terkubur selama ini, ia keluarkan lewat tamparan di pipi kanan-kiri Zinidan. Deru napas Sayang memburu, dadanya terasa sesak saat ia mencoba bernapas. Rasa sakit itu terasa sampai tulang belakang.

"Gue benci banget sama lo, kalo tuhan kasih kesempatan gue buat bunuh satu orang, orangnya itu lo." tunjuk Sayang tepat pada wajah Zinidan.

Lelaki itu menjilat ujung bibirnya yang terluka. Mengusap pipinya yang terasa panas, tanpa kata. Tangan besar itu melayang menyentuh keras pipi tembam milik Sayang.

Tubuh mungil itu terhempas ke samping, lututnya membentur cor. Mata sayu itu terpejam meresapi luka baru di tubuhnya.

"Satu tamparan, seharusnya udah cukup buat lo sadar, kalo gue Prapanca Zinidan." Zinidan tak membiarkan Sayang istirahat dari rasa sakit di pipinya, lelaki itu menjambak kembali rambut Sayang, menyeringai, lalu berkata. "Lo harusnya tetap di Garuda, di samping gue, menerima setiap takdir buruk, lo."

Berulang kali kekerasan ini terjadi, membuatnya mati rasa dan air matanya tak bisa lagi menangisi sebuah tamparan. Mungkin, dirinya akan menangis jika seluruh tubuhnya tak mampu lagi merasakan sakit.

"Jal*ng lo, kan baru. Ngapain butuh gue?"

Zinidan mencengkeram rahang Sayang. "Kalo gue kangen, sama lo gimana?"

Perempuan itu sudah bersiap melayangkan tinjuan-nya. Jika Zinidan lupa, dirinya ini pernah ikut kelas bela diri. Namun, tubuh Zinidan keburu jatuh karena seseorang menendang tubuh Zinidan.

Mata Sayang terbelalak tatkala manusia paling mustahil berada di sini berdiri dengan wajah tenang sehabis melakukan tindakan kekerasan.

"Zhico!" lirih Sayang. Matanya mengerjap, perempuan itu menepuk-nepuk pipinya. Seperti terjebak dalam mimpi.

ZhicoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang