I - Biggest Regret

11.2K 796 7
                                    

-either way i still wish you were here-

Hembusan angin menerpa wajahku pada sore hari, ini mungkin hal yang menyenangkan. Tetapi suasana saat ini berbeda, berbaring ditengah padang rumput dengan kondisi tubuh yang terluka parah, sekalipun aku mendengar suara teriakan mengenaskan dari pemukiman di dekat bukit Hill.

Pengkhianatan dan pemberontakan. Aku tidak pernah menyangka itu akan terjadi pada masa kekuasaanku. Ini benar-benar menyakitkan, aku terus mendengar suara kesakitan, tangisan, dan rintihan dari para pengikut setiaku yang percaya bahwa aku bisa menangani hal ini.

Tetapi mereka salah, pada tanggal sepuluh juni dua ratus delapan ollen, aku. Rueens Heais Lant Veeules telah lengser dari kursi tahktanya, meninggalkan para masyarakat yang masih memiliki keyakinan bahwa aku masih bisa mendapatkan kembali gelar itu.

Apa sebenarnya tugas dari seorang Raja? Itu sering memenuhi pemikiranku. Mengapa seseorang sangat ingin menjadi Raja ataupun Kaisar? Apakah mereka tidak tahu jika itu sangat melelahkan? Mengurus ratusan ribu manusia di berbagai wilayah itu tidaklah menyenangkan.

Kebebasan tidak ada artinya jika kau telah memasuki keluarga kerajaan. Aku sering memimpikan jika suatu saat aku akan berjalan bebas mengelilingi alun-alun ibukota tanpa ada satupun pengawal, itu terdengar sangat sederhana dan tak ada artinya. Tetapi bagi orang yang tidak pernah memiliki kebebasannya sendiri itu sangatlah luar biasa.

Aku memejamkan mata sejenak seolah-olah menikmati apa yang sedang terjadi. Tanganku bergerak untuk memegang luka tusukan di bagian pinggangku, bau amis darah membuat kepalaku sangat pusing. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu ajalku sendiri.

Ketika mataku telah terasa berat. Aku bisa mendengar suara langkah kaki yang berjalan di atas rerumputan. Dengan paksaan aku membuka mataku, menyaksikan dia tengah berjalan menghampiriku dengan kondisi yang sangat parah.

"Kenapa kau ada disini?" Tanyaku terbata-bata pada Ratu. Aku telah menyuruhnya untuk pergi bersama ratusan orang yang masih selamat ke Canaria melewati jalur rahasia.

"Yang Mulia, anda tidak perlu khawatir." Dia tersenyum kecil tetapi membuat perasaan berkecamuk di dalam diriku. "Saya telah memastikan jika ratusan warga telah pergi dengan selamat ke Canaria."

"Bukan itu maksudku!" Aku memelototinya sembari menahan rasa sakit. "Aku menyuruhmu untuk ikut pergi lalu mengapa kau masih ada disini?"

"Kami tertangkap,"

Aku tersentak.

"Tetapi," dia melanjutkan. "Untungnya Jenderal Monoius berhati lunak, meski ia masih sedikit kejam. Saya telah mengadakan tawar menawar dengan Jenderal Monoius, luka yang anda lihat pada tubuh saya adalah hasil tawar menawar. Nyawa ratusan orang selamat berkat itu, setidaknya saya merasa bangga karena masih bisa melakukan tugas saya untuk terakhir kalinya." Zietha tersenyum simpul.

"Kau mengorbankan dirimu dengan menerima semua luka penyiksaan itu?!"

"Lalu apa yang bisa saya lakukan lagi Yang Mulia?" Sosoknya yang tegar dibawah cahaya matahari mengingatkanku pada sosoknya yang pernah menghentikan perdebatan di pengadilan tahun lalu.

Aku pada akhirnya terdiam tanpa mengatakan sepatah katapun, Zietha duduk bersimpuh di dekatku, dengan lembut dan hati-hati dia mengangkat kepalaku lalu meletakannya di atas pangkuannya. Telapak tangannya yang penuh dengan darah menggenggam hangat tanganku, membuatku teringat tentang masa-masa awal pernikahan kami.

Zietha merupakan putri dari Duke Viesxel, seorang pria dari keluarga jenius yang mampu mengendalikan seluruh benua ini hanya dengan kejeniusannya. Tetapi, mereka memilih untuk tunduk pada generasi kakekku, dan memilih untuk hidup dengan tenang sebagai bangsawan yang terhormat.

Karena sesuatu yang tidak kuketahui, pada umur delapan tahun ayah menjodohkanku dengan Zietha, seperti ayah dan keluarganya. Zietha adalah gadis yang jenius, aku memiliki kesan yang baik tentang dirinya pada saat pertama kali kita bertemu.

Mungkin karena Zietha lah aku masih bisa bertahan selama sepuluh tahun berkuasa di kerajaan ini, dia jenius dan pengaruhnya di bidang politik sangat membantuku. Tetapi hubungan kami lebih seperti sebuah rekan bisnis daripada menjadi pasangan suami istri. Saat menghadiri acara formal barulah kami bersikap seperti pasangan.

"Yang Mulia," dia membuyarkan lamuanku. "Apa anda akan marah?"

"Aku? Kenapa marah?" Tanyaku heran sembari terbatuk-batuk, rasa sakit akibat batuk nyaris membuatku kehilangan kesadaran.

"Apa anda akan marah setelah saya mengatakan jika saya telah memprediksi dan mengetahui jika peristiwa ini akan terjadi?"

Aku sedikit mengangkat kepalaku, wajah yang menawan itu membuat hatiku menjadi sakit karena suatu alasan. Entah kenapa, aku hanya tersenyum seolah-olah itu tidak masalah dan tidak peduli jika rakyatlah yang juga ikut terkena masalah.

"Tidak ada gunanya, semua telah selesai. Biarlah mereka yang akan menempati posisi raja menggantikan tugasku untuk melindungi dan mengurus ratusan ribu rakyat ini."

Aku mendongak lagi untuk melihat reaksinya, wajah yang sangat pucat, darah yang mengalir keluar dari luka di pelipisnya, serta nafasnya yang terasa pendek mampu membuatku menjadi panik. Tangan yang menggenggamku juga terasa dingin, aku balas menggenggam erat tangannya dan melupakan semua hal yang ku katakan dan pikirkan tadi.

"Yang Mulia." Dia tersenyum, "saya yakin jika waktu saya sudah tak banyak lagi, saya hanya ingin mendengar satu jawaban jujur dari anda. Bisakah anda melakukan itu?"

Aku menjawab lemah. "Ya, aku akan berusaha menjawabnya."

"Apakah anda menyesal," dia menjeda kalimatnya untuk menarik napas. "Apakah anda menyesal menikahi dan menjadikan saya sebagai ratu dan pendamping hidup anda?"

Aku terpaku pada perkataannya, sama sekali tidak pernah terpikirkan jika wanita yang telah hidup bersamaku selama puluhan tahun itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Tetapi aku tetap mengangguk sembari meyakinkan diri.

"Tidak, aku tidak pernah menyesal."

"Terima kasih atas jawabannya Yang Mulia," mata wanita itu meredup, wajahnya semakin pucat, tangannya juga semakin dingin. "Ijinkan saya untuk memberikan salam perpisahan, untuk terakhir kalinya."

Tanpa persetujuan atau penolakanku, bibirnya yang pucat mengecup ringan bibirku. Aku bisa merasakan tetesan air mata yang jatuh mengenai daguku ketika ia menciumku, aku merasakan nafasnya yang semakin pendek lalu ia melepaskan bibirnya dariku.

"Saya juga tidak menyesal, sampai jumpa di kehidupan yang lain. Rueens."

Tubuhnya seketika jatuh ke samping, aku mencoba untuk bangun. Tetapi luka-luka diseluruh tubuhku tidak mengijinkan untuk melakukan hal itu, aku mencoba memegang tangannya sembari memanggilnya, tetapi takdir adalah takdir. Dia telah meninggal, Ratu telah meninggal. Dia pergi meninggalkan rakyatnya, dia pergi meninggalkanku.

Aku menangis, tentu. Dia adalah orang yang telah menemaniku sejak kecil, dan menjadi orang yang pertama kupercayai. Meski kami menikah, hubungan kami lebih sebatas rekan atau teman, aku terisak, aku sedih tetapi tidak menyesal ketika memberikan kekuasaanku kepada para pengkhianat itu. Tetapi, aku sangat menyesal karena tidak terlalu memberikan perhatian kepada Zietha. Aku menyesal, sungguh.

Aku berharap, akan ada kesempatan kedua.

LaevousWhere stories live. Discover now