Chapter 7

173 31 5
                                    

Cerita ini mungkin chapternya cuma dikit ya, dah ku ingetin loh.

Ya minimal lebih dari 10 chapter sih🙂

Dahlah.

****

Setelah bercakap-cakap, Amato memutuskan untuk pergi ke kamar dan meninggalkan Mara seorang diri di ruang tamu.

Entah kenapa sikap Amato berubah drastis selepas menerima telepon beberapa saat yang lalu. Karena merasa khawatir, Mara pun memiliki inisiatif untuk menyusul Amato.

Membuka pintu seraya berjalan mendekati, Mara memeluk tubuh Amato dari belakang yang tengah duduk di meja kerjanya. Amato cukup tersentak karena kedatangan Mara yang sangat tiba-tiba itu.

"Kamu kenapa?" tanya Mara.

Menjeda waktu untuk menjawab, kepala Amato terlihat menggeleng. "Aku baik-baik aja. Kamu udah nanya lebih dari lima kali loh, Mara."

Mendengar hal itu, Mara refleks mencibir. "Kamu nggak bakat bohong, Amato. Dari tadi kamu kayaknya ngindarin aku, ada apa? Kamu nyembunyiin sesuatu ya?"

Skakmat. Kenapa tebakan Mara selalu benar? Apakah teori wanita selalu benar itu memang nyata? Amato kira, pernyataan itu hanyalah akal-akalan mereka saja.

"Enggak kok, cuma perasaan kamu aja."

Padahal mereka sudah menikah, akan tetapi kenapa susah sekali untuk Amato terbuka pada Mara?

Sejenak, Mara menghela napas perlahan. Dia harus sabar dan membujuk Amato terus agar dia ingin berbagi masalah pada Mara.

"Amato, aku tau kamu bohong. Ada apa, sayang?"

Tangan Mara naik, menggerakkan dagu Amato untuk membalas tatapan miliknya yang sempat ia acuhkan. Tatapan keduanya pun bertemu di detik kemudian.

Walau hanya sebentar, karena setelahnya Amato kembali mengalihkan kepalanya kearah lain. Wajahnya suram dan seperti kebanyakan masalah. Pasti ada yang tidak beres.

"Amato? Kok diem aja sih?"

Hening, Amato sama sekali tak memiliki niatan untuk menjawab apalagi menimpali ucapan Mara.

"Nggak papa," ucapnya dusta.

"Ck," memutar bola mata malas, Mara berdecak kasar sembari mendengus kesal. Ia memberikan sorot mata tajam, "sesusah itu ya terbuka sama aku?"

Sudah dipastikan, Mara marah untuk saat ini. Terdengar sekali dari perbedaan nada bicara dan sorot matanya.

"Bukan begitu maksudku, Mara. Aku hanya--"

"Apa?" Mara memotong tak sabaran, "bahkan untuk terbuka sama aku aja kamu nggak bisa. Pasti ada sesuatu hal yang buruk kan? Bilang Amato, jangan diam aja!"

Sekali lagi, Amato menggeleng menolak. Dia tidak bisa jujur dan mengatakan semuanya pada Mara. "Nggak penting, Mara."

"Nggak penting?" menyungging senyuman sinis, Mara menggeram samar. "Kalau nggak penting, kamu nggak mungkin sampe kepikiran begitu. Kamu kira, kamu bisa bohongin aku begitu aja?"

SULIT DIMENGERTI [ END ]Where stories live. Discover now