Chapter 14

273 34 6
                                    

"Aku pengin liat anak kita."

"Nggak boleh," mendengar hal itu Amato pun langsung menolak permintaan Mara.

Menautkan sepasang alisnya sembari memasang ekspresi wajah heran, Mara bertanya. "Kenapa?"

"Perlu ku sebutkan alasannya sekarang?" seperti biasa, bukannya menjawab ataupun menjelaskan, Amato malah berbalik bertanya kepada Mara.

Tanpa pikir panjang, Mara pun refleks mengangguk. Dia penasaran, "iyalah. Apa alasannya?"

Tangan kanan Amato terangkat dengan jari telunjuk yang terlihat, "banyak alasannya. Yang pertama, kamu baru sadar dari koma. Yang kedua, anak kita mengalami prematur dan harus diletakkan di dalam tabung bayi agar tetap hangat."

"Prematur?" karena kaget dengan ucapan Amato yang terakhir, Mara membulat seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini. "Kok kamu nggak bilang sih?"

"Lah, ini aku bilang."

"Telat, Amato!" ketus Mara setengah jengkel.

Hal itu mengakibatkan Amato langsung membuang napas perlahan, dan mencoba untuk sabar. "Itu hal yang normal, Mara. Jangan cemas, semuanya sudah di dalam kendali ku sekarang."

"Dih, memangnya kamu Tuhan?" gumam Mara dengan nada yang sedikit mencibir.

"Bukan sih, tapi aku bisa mengurus semuanya dengan mudah."

Tatapan datar langsung terlempar pada Amato, "sombong amat."

"Bercanda, Mara." Kekeh Amato, sekilas ia nampak menopang dagunya menggunakan tangan kanan. "Apa yang kamu rasain?"

"Em..." Mara berpikir sebelum menjawab, terlihat mengalihkan tatapannya sejenak kearah lain. "Lega sih, rasanya tuh lega banget, Amato. Tapi, aku mau ngasih sesuatu ke kamu."

"Hm? Apa?" sepasang alis Amato saling bertautan, ia mengernyit tak mengerti. Menatap Mara menggunakan tatapan yang sedikit polos.

Mara menarik bibirnya samar, memberikan senyuman miliknya kepada Amato. "Sini deh, aku mau bisikin sesuatu."

Karena Amato percaya saja pada Mara, akhirnya dia pun menurut tanpa memiliki perasaan curiga sedikit pun. Dia bangkit dari tempat duduknya, mendekatkan kepalanya pada Mara dan....

Pletak!

Sebuah jitakan penuh kasih sayang yang Mara berikan pada suaminya membuatkan Amato sedikit mengernyit kesakitan. Ayolah, jitakan Mara itu tak tanggung-tanggung loh.

Sakit seperti memiliki dendam pribadi. Ya, Mara memang sedikit dendam sih pada Amato. Entahlah, setiap kali Amato bertanya, Mara pasti akan selalu menjawab, muka kamu nyebelin.

Alasan yang sangat diluar nalar, bahkan otak jenius Amato pun langsung konslet ketika mengobrol dengan Mara. Wanita itu memang selalu aneh, Amato tak pernah mengerti tentang dia.

"Duh, sakit, Mara." Amato melotot seraya menjauhkan kepalanya dari Mara, mengusap puncak kepalanya yang kena jitak.

"Kamu sih nyebelin! Kamu tau nggak seberapa paniknya aku disaat mencoba buat menghubungi kamu tapi sama sekali tidak ada jawaban? Aku kira, kamu kenapa-napa dan terjebak di situasi yang gila! Aku itu khawatir tau, kamu nyebelin! Sok kuat! Egois banget jadi manusia! Bisa-bisanya aku suka sama laki-laki sialan kayak kamu!"

Oke, suasana di dalam kamar itu mendadak berubah drastis. Mood Mara juga langsung terjun bebas dan hancur berantakan, dia berteriak dan membentak Amato dengan raut wajah yang memerah akibat emosi.

"Maaf," hanya kalimat itu sajalah yang terlontar darinya.

Mara refleks mendecih tak suka, seenak jidatnya saja mengatakan hal itu. "Maaf kamu basi, Amato. Aku bosen kalau harus mendengar kalimat itu setiap kali kamu salah. Kamu selalu mengulangi kesalahan soalnya."

"Mara, aku nggak bisa fokus ngurus kantor kalau selalu megang hp. Kamu yang paling tau Mara, aku selalu mencoba fokus pada apa yang aku kerjakan sekarang. Aku mana mampu kalau harus memikirkan dua masalah disaat yang bersamaan. Tapi aku selalu mengakui kalau aku memang salah, Mara."

Kepala Amato menurun, sedikit menunduk. Jemarinya bergerak, menyentuh telapak tangan Mara yang tengah di infus itu. Amato menatap lekat kearah istrinya, dia sungguh menyesal.

"Maaf karena aku tidak bisa menjadi suami yang baik buat kamu, Mara."

Bahkan untuk menjadi seorang ayah pun Amato gagal.

Dia akan selalu gagal. Selamanya.

****

Tujuh tahun kemudian....

Suara ketukan pintu terdengar sayup-sayup dari luar ruangan kerja Amato, membuatkan si empunya yang tengah sibuk bergulat dengan berkas itu pun refleks menoleh ke asal suara.

"Siapa?"

Kriiieeet....

Decit pintu menyapa indera pendengaran Amato dengan daun pintu yang terbuka secara perlahan. Seorang anak kecil nampak bersembunyi dibalik pintu, mengintip dan berusaha untuk mencari tahu tentang aktivitas yang tengah Amato kerjakan.

"Ayah....lagi sibuk?" tanya anak kecil itu, suaranya amat lirih hingga Amato pun seperti kesulitan untuk mendengarnya.

Kepala Amato menggeleng, ia tersenyum tipis. "Enggak juga. Masuk sini, jangan berdiri di depan pintu. Pamali."

Setelah mendapatkan ijin dari sang ayah, anak kecil itu melangkah mendekat. Pijakannya terlihat kecil dan mungil, ia berjalan menghampiri ke posisi Amato.

"Sini anak ayah," Amato membungkuk dan meraih putranya itu lantas mendudukkannya diatas paha miliknya. "Jadi, ada apa, hm?"

"Bukan hal yang penting sih, Yah. Tapi, adik-adik Hali pengin beli eskrim dan minta ditemenin sama Ayah."

Kening Amato berkerut, "kenapa bukan mereka sendiri yang meminta?"

"Entahlah, mereka takut katanya. Hali juga nggak terlalu tau," bahu anak kecil itu terangkat samar.

"Hali nggak ikutan takut?"

Gelengan kepala adalah jawaban yang tepat. "Enggak kok, ngapain Hali takut? Ayah kan ayahnya Hali, jadi kayaknya nggak perlu deh. Em....ayah mau kan nurutin permintaan mereka? Kasihan mereka Yah, dari kemaren ayah juga sibuk terus kan? Hali mohon, Yah." Rengek nya.

Menolak pun rasanya Amato tidak akan tega, mana mungkin dia menolak permintaan putranya yang amat menggemaskan ini. Lihatlah, bola matanya yang bersinar itu. Amat manis.

"Iya, nanti sore ya, Hali? Ayah mau menyelesaikan urusan ini dulu, masih lumayan banyak soalnya." Jawab Amato dengan dagu yang bergerak menunjuk kearah mejanya yang dipenuhi oleh kertas dan berkas lain.

Iris mata anak kecil itu melirik kepada semua berkas yang tergeletak, rasa penasaran pun langsung hinggap dalam hatinya.

"Ayah lagi ngapain?"

"Kerja," ujar Amato singkat.

"Kata Mama, ayah itu bos yang hebat ya? Ayah juga selalu dihormati sama semua orang kalau ketemu dijalan. Hali jadi kepengin kayak ayah deh."

"Kayak ayah?" beo Amato. "Semua itu ada perjuangannya, Hali. Kamu serius mau jadi kayak ayah? Memangnya kuat?"

"Kuatin dong, Hali nggak mau menyerah begitu aja. Hali pengin jadi orang hebat kayak ayah kalau udah gede, biar bisa berguna buat adik-adik Hali nanti dan bisa bahagiain mereka juga. Boleh kan, yah?"

Tangan Amato naik, menepuk puncak rambut putranya dengan lembut. "Ayah berharap padamu, Hali. Jadilah anak yang berguna untuk ayah."

"Baik, ayah."

TAMAT







SULIT DIMENGERTI [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang