Chapter 8

164 31 10
                                    

Terkadang, memutuskan suatu tindakan memang sulit. Amato bingung dan dia membenci hal itu. Ingin menolak pun rasanya tidak bisa. Dia memiliki sebuah tanggung jawab yang besar dan Amato sama sekali tak bisa mengabaikan hal itu.

Dia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Kepentingan bersama terdengar lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pribadinya sendiri. Karena pekerjaannya ini telah merenggut banyaknya nyawa yang ada di dalam perusahaan milik Amato.

Jika perusahaan itu jatuh bangkrut, bukan hanya Amato sendiri yang rugi namun semuanya. Dan, seluruh jerih payah yang telah Amato lakukan selama beberapa tahun yang lalu akan menjadi sia-sia belaka.

Dia tidak mau semuanya hancur begitu cepat. Tidak bisa, dia tidak rela!

Set!

Dugh!

Bruk!

"Akh!"

Menubruk dari arah belakang, dengan gerakan secepat kilat kedua tangan Maksmana sudah di dalam kuncian milik Amato. Mereka hampir memasuki bandara, tepat berada di taman halaman sih.

"Ketemu." Gumam Amato dengan senyuman miring yang nampak di sekitar wajahnya.

"Sialan, kenapa kau ada disini, hah?"

"Karena urusanku ada disini. Katakan, dimana berkasnya?"

Maksmana terkekeh, ekor matanya sempat melirik kearah samping. Hendak menatap Amato namun hal itu ia urungkan, bahkan untuk menolehkan kepalanya saja dia tidak bisa. Kuncian Amato sangat kuat, bergerak saja dia tidak bisa.

"Sudah ku jual." Jawab Maksmana dengan nada yang tidak peduli.

"Dijual katamu?"

"Ya, sudah ku jual. Dia sudah mengudara sekarang, kau terlambat, Amato. Kenapa? Banyak urusan setelah menikah ya? Sibuk mengurus--"

"Diam!"

Krak!

Suara retakan tulang menerpa gendang telinga Maksmana dengan teriakan yang keluar dari tenggorokannya.

"Argh! Sialan kau!" geram Maksmana marah, pasti tulang tangannya patah sekarang. Itu sakit.

"Kau tidak pernah diajari sopan santun ya? Hhh, baiklah, biar aku yang akan mengajarimu setelah ini."

Setelah berucap demikian, Amato mendekatkan mulutnya kearah belakang telinga Maksmana.

"Pengkhianat sepertimu memang pantas untuk mati."

Tubuh Maksmana sempurna mematung setelah mendengar bisikan itu. Hal itu membuatkan ia sedikit merinding.

"Sudah siap?"

****

Sedari tadi, Mara kerjaannya hanya bolak-balik sembari mencari keberadaan Amato. Kemana ya dia?

Setelah terbangun dari tidur karena mendengar suara adzan maghrib, Amato sudah menghilang bak ditelan bumi. Dia menghilang tanpa ijin maupun permisi.

"Dia kemana ya?" bergumam seraya berpikir, Mara tetap saja berjalan mondar-mandir di depan pintu yang tertutup.

Atau jangan-jangan Amato marah karena sempat Mara bentak? Ih nggak asik banget, masa Mara marah malah dibalas marah juga sama Amato. Harusnya dibujuk dong, kenapa Amato malah minggat?

Bahkan sampai sekarang pun dia sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Kalau Amato pergi lalu selingkuh bagaimana? Kalau misalkan pulang-pulang Amato membawa surat cerai bagaimana?

SULIT DIMENGERTI [ END ]Where stories live. Discover now