Chapter 13

194 27 9
                                    

Hanya ada satu kalimat yang sesuai dengan keadaan Amato sekarang. Menyedihkan. Ya, itu sesuai untuknya.

Dia berusaha untuk menyelamatkan nasib orang lain dan memperbaiki semuanya, namun Amato malah melupakan hal yang penting bagi hidupnya.

Amato melupakan Mara. Bahkan dia tak bisa memberikan kabar sedikit pun pada wanita itu. Amato terlalu fokus pada satu titik dan mencoba untuk mengabaikan titik yang lainnya.

Dan sekarang, dia hampir kehilangan sosok wanita yang dicintainya.

Malam harinya, keadaan Mara sudah cukup membaik setelah menerima pasokan darah yang kebetulan sekali dimiliki oleh pihak rumah sakit. Walau pihak rumah sakit berusaha semaksimal mungkin untuk mencari stok darah AB, akhirnya hal itu tak memberikan hasil yang mengecewakan.

Pihak rumah sakit mendapatkan darah itu dan langsung memberikan pertolongan pertama pada Mara. Walau keadaannya sudah membaik, namun tetap saja Mara tak kunjung sadar. Dia masih terbaring di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat).

"Bapak nggak mau menjenguk putra bapak di ruangan bayi? Mereka sehat loh, pak." Mencoba mengalihkan kesedihan Amato pada hal yang cukup membuatnya sedikit bahagia, Wawa berucap.

Amato yang sedari tadi menutup mulut dan melamun di tempat tunggu dekat pintu kamar Mara itu sejenak melirik. Tak berucap sedikit pun, Amato hanya menggeleng samar.

Menghela napas perlahan, Wawa tak bisa menyalahkan Amato pada sikapnya yang terkesan dingin itu. Mungkin Amato sangat merasa bersalah atas tragedi yang terjadi. Haha, laki-laki mana yang tidak merasa bersalah disaat melalukan kesalahan yang fatal itu?

Meninggalkan istrinya yang tengah hamil besar ke luar kota seorang diri tanpa adanya penjagaan sedikit pun.

"Terima kasih karena sudah membantu Mara," setelah beberapa jam Amato berlagak layaknya patung akhirnya dia mengeluarkan suaranya.

"Sama-sama, pak. Lagipula kan sesama wanita juga harus saling tolong-menolong kan?" jawab Wawa sembari tersenyum, dia tidak keberatan dengan itu.

"Hm, saya pesankan ojek ya sebagai tanda terima kasih? Ini sudah malam," tawar Amato.

Wawa menggeleng sebagai tanda bahwa ia menolak tawaran yang diberikan oleh Amato, "nggak usah repot-repot, pak. Saya sudah pesan taksi kok, saya permisi dulu ya? Titip salam ke Mara kalau dia sudah siuman."

"Iya," angguk Amato.

****

Esok harinya, pukul 07.21

Amato masih tertidur diatas telapak tangan Mara yang tengah di infus, menjadikannya sebagai bantal dan sandaran. Dia lelah, maka dari itulah Amato kesiangan. Ya, terkadang dia sering kesiangan sih. Bersyukurlah ada Mara yang selalunya berada di samping sisi Amato untuk setiap saat, kecuali hari ini.

Jemari Mara mulai bergerak dengan gerakan yang amat lamban. Bersamaan dengan itu, sepasang matanya mulai terbuka seiring berjalannya waktu.

Pikiran Mara sedikit kosong, dia tak mengerti kenapa dirinya bisa berakhir dan terbaring di dalam kamar rumah sakit. Apa yang terjadi?

Mara sedikit meringis karena merasakan tangan sebelah kanannya terasa sangat berat, seperti ditindih oleh sesuatu. Dengan susah payah ia menggerakkan kepalanya agar teralih walau sedikit, Mara terdiam di tempat.

Apakah dia tidak salah lihat? Atau dirinya sudah terlalu gila dan malah berhalusinasi terlalu tinggi?

"A.....ma-ma....to?" Mara memanggil dengan nada yang terbata-bata, dia baru saja sadar dari koma. Ya, memang hal seperti itu sangatlah wajar.

Amato yang masih terlelap pulas itu tak menyadari bahwa istrinya sudah sadar pun tetap saja melanjutkan tidurnya dengan tangan Mara sebagai alasnya.

Melemparkan tatapan lekat nan sendu, Mara berusaha untuk menggerakkan tangan sebelah kirinya. Memang sedikit kaku dan kehilangan tenaga, namun Mara ingin menyentuh Amato sedikit saja. Dia sangat merindukan sosok laki-laki itu.

Puk!

Yes, berhasil!

Sedikit kasar memang, namun Mara berhasil meletakkan jemarinya yang sebelah kiri itu tepat mendarat diatas kepala Amato. Dengan gerakan lembut dan teratur, Mara mengusap rambut Amato yang selalunya berantakan itu.

Entahlah, Mara heran dengan rambut itu. Jarang sekali loh rambut Amato terlihat anggun dan rapi. Selalu nya berantakan walau sudah disisir berulang kali.

Kelopak mata Amato sedikit mengerjap ketika merasakan ada pergerakan yang menempel di puncak kepalanya dan akhirnya terbuka.

Amat terkejut dirinya itu ketika mengetahui bahwa Mara sudah siuman dari masa komanya.

"Mara?" menegakkan badannya langsung, Amato berseru kaget.

"Maaf kalau aku bangunin kamu, capek ya?"

Tentu Amato kelelahan. Bayangkan saja, setelah mengurusi berkas perusahaan yang sangat bejibun itu, Amato harus langsung pergi dan bertemu dengan Mara.

"Enggak, kamu baik-baik aja kan? Ada yang sakit atau perlu aku panggilin dokter?"

Mulai deh Amato ini, dia terlihat sangat menggemaskan kalau sudah seperti ini. Melihat hal itu, Mara pun hanya terkekeh geli. "Nggak usah, aku mau kamu disini nemenin aku. Btw, gimana anak-anak kita? Mereka selamat kan?"

"Mereka sehat walau...." Amato menjeda ucapannya.

"Kenapa?" Mara yang penasaran pun langsung melemparkan pertanyaan serta tatapannya kepada Amato.

"Rada sulit dipercaya sih tapi kamu hebat banget bisa bertahan, Mara."

"Hah? Kamu ngomong apa sih?"

Oh ayolah, kenapa Amato selalu membolak-balikkan topik? Kapasitas otak Mara yang biasa saja kan tidak sampai.

"Anak kita kembar tujuh, Mara. Memecahkan rekor tahun ini, kamu hebat banget."

"Ah kamu mah," Mara yang mendapatkan pujian dari Amato langsung tersipu. Jarang sekali dia mendapatkan pujian apalagi kalau dari Amato, sangat langka.

"Cepat sembuh ya? Aku menunggu kamu disini."

Kepala Mara mengangguk, "iya. Tapi Amato, boleh nggak kalau aku meminta sesuatu dari kamu?"

Waduh, mulai deh. Hawa negatif langsung menghampiri keberadaan Amato.

"Apa?"

Kedua bola mata Mara berbinar, "aku pengin liat anak kita."

.
.
.

TBC....

Aye! Happy ending😘

Bentar lagi mo tamat uwu, pengin tripel update tapi otak nggak mampu🙂

SULIT DIMENGERTI [ END ]Where stories live. Discover now