Chapter 11

147 27 11
                                    

Wajahnya tertekuk masam, Amato sangat tidak bersemangat untuk pergi keluar kota. Amato tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia cukup menyukai pekerjaan miliknya dan memiliki ambisi yang membuat dirinya menjadi semangat untuk bekerja.

Tapi sekarang, perasaan itu raib begitu saja. Amato tak ingin pergi dan meninggalkan Mara seorang diri disini. Dia tidak tega, kalau ada hal buruk yang terjadi bagaimana? Siapa yang akan menolong Mara?

"Nah siap," memasang dasi pada kerah baju Amato, Mara bergumam seraya tersenyum puas. "Mukanya jangan ketekuk gitu dong, ayo senyum."

"Nggak mood," jawab Amato singkat.

Mara terkekeh ketika mendengarnya, menatap penampilan Amato dari puncak kepala hingga mata kaki. "Aku udah siap kok mengalami hal semacam ini bahkan setelah nerima lamaran kamu."

Tak menjawab, Amato hanya terdiam. Memandangi istrinya menggunakan tatapan lekat dan bimbang. "Maaf."

"Hei, nggak papa kali. Ya ampun Amato, jangan terlalu sentimental deh. Aku nggak papa, lebih baik sekarang kamu pergi dan menyelesaikan semuanya dengan cepat. Setelah itu, kamu bisa kembali lagi deh kesini dan menunggu putra kembar kita lahir. Kamu pasti nggak mau kan melewatkan momen itu?"

"Jaga diri ya? Kalau ada apa-apa, kamu hubungi aku secepatnya."

Kepala Mara mengangguk, "iya, sayang. Semangat ya kerjanya, aku nunggu kamu loh disini. Btw, kamu nunduk bentar dong."

Kedua alis Amato saling bertautan, "kamu mau ngapain?" 

"Mau nyium kening kamu sebagai tanda perpisahan, hehe."

Menggelengkan kepalanya heran, Amato hanya mengulas senyum tipis sebagai jawabannya. Ia membungkuk dan menurunkan dagunya, namun bukan untuk menyerahkan keningnya pada Mara melainkan....

Cup.

Dialah yang akan memberikan ciuman perpisahan itu pada Mara. Mara yang mendapatkan serangan dadakan itu langsung mematung seraya membulat tak percaya.

"Aku pergi ya?" pamit Amato undur diri.

Salah satu tangannya naik, tepat mendarat kearah mana bekas ciuman itu berasal. Mara mencoba untuk menahan senyuman itu, "apaan sih. Harusnya kan aku yang ngasih, kenapa malah sebaliknya sih? Dan, apa-apaan itu tadi? Seharusnya kamu itu ijin dulu, Amato."

"Kamu pendek sih, jadi gampang."

"Huft--" Mara mencibir, "bukan aku yang pendek tapi kamu nya aja yang ketinggian. Hhh, yaudahlah. Kamu hati-hati ya? Sampai jumpa beberapa hari kemudian."

"Iya."

"Aku nungguin kamu loh disini, jangan selingkuh ya?"

"Iya."

"Kamu harus pulang sebelum anak kamu lahir ya, Amato?"

"Iya."

"Aku sayang kamu."

"Aku juga."

****

Empat hari setelahnya, Amato menghilang tanpa kabar. Mara sudah mencoba untuk menghubungi laki-laki itu, tapi semuanya percuma saja. Di telpon Amato tidak mengangkat, di sms Amato juga tidak membalas.

Hhh, hal itu membuatkan Mara sedikit khawatir dan cemas. Apakah suaminya baik-baik saja disana? Apakah urusannya masih belum selesai juga? Apakah separah itu sampai-sampai Amato bahkan tidak memiliki waktu sedikit saja untuk hanya sekadar memberikan pesan dan kabar?

Duduk di ruang tamu seorang diri, Mara merenung. Otaknya beterbangan kemana-mana, perasaannya mulai merasa tidak enak dan nyaman. Dia merindukan sosok suaminya.

Apakah itu terlalu berlebihan?

Memang Mara sendiri yang menyuruh Amato untuk pergi dan menyelesaikan semuanya. Tapi, bukan berarti Mara juga merelakan Amato untuk pergi terlalu lama.

"Hhh...." Membuang napas berat setelah mendapati nomor milik Amato yang tidak aktif, Mara meletakkan ponselnya diatas meja ruang tamu. "Kamu kemana sih? Kok tiba-tiba ngilang gini?" gumamnya seorang diri.

Mengapa Amato tidak menyuruh pengasuh untuk menjaga Mara agar ia tak sendirian dan merasa kesepian?

Kalian pasti bertanya-tanya tentang masalah itu, bukan? Jawabannya adalah Amato terlalu takut untuk mempercayai orang asing. Setelah berulang kali karyawannya berkhianat, Amato jadi merasa risau dan selalu mewaspadai orang asing.

Keberadaan rumah mereka memang cukup jauh dari keberadaan kantor perusahaan milik Amato. Hal itu agar mata-mata atau orang yang mencoba untuk mengikuti Amato tidak berhasil mencari informasi dengan cepat.

Musuh Amato banyak, dan dia tidak mau kalau Mara mendapatkan masalah yang disebabkan oleh berbagai musuhnya.

Oke, kembali ke topik, jangan suka membahas hal yang melenceng dari topik awal.

Tangan Mara mengusap perutnya dengan lembut, sesekali memijat karena perutnya mulai terasa sakit dan nyeri. Apakah sudah waktunya?

"Tahan dulu ya, sayang? Kita tunggu ayah kamu dulu."

Berusaha untuk meneguhkan hatinya agar tetap tegar, Mara berucap. Oh tidak, perutnya sudah mulai terasa nyeri dan sakit. Sepertinya memang sudah waktunya deh, tapi disisi lain Mara tidak mau kalau anaknya lahir sebelum Amato pulang.

"Udah nggak sabar ya ketemu mama? Iya, iya, tunggu sebentar."

Karena tak ingin semuanya menjadi lebih parah, Mara bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih, Mara keluar dari rumah. Hendak mencari bantuan dari tetangga yang kebetulan tak terlalu jauh dari samping rumahnya.

Tok...

Tok...

"Wawa, buka pintunya. Tolong...." Mara merintih menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Hiks, sakit."

Pintu pun terbuka. Menampakkan Mara yang tengah kesakitan dan limbung akibat kehilangan keseimbangan kalau saja Wawa tak sigap menahan tubuh Mara.

"Ya ampun Mara, kamu kenapa?" tanya Wawa yang langsung panik ketika melihat kondisi Mara yang sudah pucat pasi.

"Aku udah nggak tahan, tolong bawa aku ke rumah sakit. Ini sakit banget."

"Ya ampun, iya, iya. Aku telpon ambulance dulu ya? Ayo ke dalam dulu," Wawa menuntun Mara untuk masuk ke dalam rumah miliknya.

"Aku udah nggak tahan, Wa."

"Tahan sebentar, Mara. Aku mau telpon ambulance dulu, sebentar ya?"

Hendak pergi dan mengambil ponselnya, Wawa dibuat terkejut ketika matanya turun ke bawah dan menatap lantai.

"Astaga Mara, kamu pendarahan!'

.
.
.

TBC....

Gemes deh, jadi pengin bunuh😭


SULIT DIMENGERTI [ END ]Where stories live. Discover now