Chapter 12

159 30 6
                                    

"Ck, berkas sialan! Kapan semuanya selesai?"

Melempar beberapa berkas ke sembarang arah, Amato memaki seraya menjambak rambutnya kasar.

Berkasnya ngelunjak, semakin dikerjakan malah semakin banyak. Sialan, kalau begini caranya dia tidak akan pulang dengan tepat waktu. Bahkan sudah empat hari berlalu dan urusan perkantoran ini sama sekali tak bisa mendekati kata usai.

Rasanya kepala Amato ingin pecah, mengeluarkan berbagai isinya. Kepalanya pusing sekali, kapan semuanya bisa selesai?

"Kira-kira Mara apa kabar ya?" memangku dagunya menggunakan tangan kanan, tatapan Amato naik lurus menatap langit-langit ruangan pribadinya.

"Astaga, aku lupa mengabari wanita itu. Ponsel, ponsel ku mana?" bergumam seorang diri sembari menepuk keningnya, Amato baru ingat bahwa dia belum mengabari Mara sama sekali tentang keadaannya.

Menoleh ke kanan dan ke kiri, Amato berusaha untuk mencari keberadaan ponselnya yang entah dimana.

"Nah ketemu," mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, Amato terkekeh puas. "Kuharap Mara nggak ngamuk karena aku lupa mengabari dia."

137 panggilan suara tak terjawab.

Nah kan, sudah Amato duga. Pasti Mara langsung nge-spam hingga ratusan seperti ini. Tapi tunggu sebentar, kenapa Mara menghubungi Amato banyak sekali?

Oke, kalau mau tau ya harus bertanya dong. Amato pun menghubungi Mara menggunakan panggilan suara, tidak aktif. Lah, kok tidak aktif sih?

"Mara kemana ya?" kembali memutar otak seraya berpikir, Amato mencoba untuk menemukan jawabannya. Apakah Mara sedang tidur?

Sekarang sudah hampir siang kan?

Menelan salivanya secara paksa, sekilas Amato mengusap wajahnya yang mendadak gusar. Kenapa tiba-tiba dia jadi kepikiran?

Lima kali Amato menghubungi Mara, namun jawabannya tetap sama. Nomornya tidak aktif.

Drrrt!

Sedang melamun, Amato dikejutkan oleh sebuah panggilan suara nomor yang tidak dikenalinya.

"Siapa?" memutuskan untuk menerima panggilan asing itu, Amato langsung bertanya tanpa basa-basi.

Dari ujung panggilan, ada beberapa suara keributan dengan deru napas yang tidak terkontrol.

"Dengan suaminya Mara kan?"

Mendengar hal itu, Amato refleks menautkan kedua alisnya secara serempak. Menimbulkan beberapa siku yang terpasang di keningnya.

"Ini siapa?"

"Saya Wawa pak, tetangga bapak sama Mara. Jadi begini, Mara mengalami kontraksi hebat, pak. Kurasa ini waktunya untuk kelahiran anak bapak, tapi semuanya tidak berjalan baik."

Apa? Kontraksi hebat?

"Apa maksudmu dengan tidak berjalan baik?"

"Mara harus di operasi, pak."

Oh, ini mengejutkan. Tubuh Amato rasanya langsung lemas karena mendengar kabar buruk itu. Untunglah ia mampu mengendalikan tubuhnya agar tidak ambruk dan terjatuh menimpa lantai keramik ruangannya.

"Lakukan. Saya kesana sekarang, rumah sakit mana?"

"Rumah Sakit Medika, pak."

Mematikan saluran secara sepihak, Amato beranjak dari duduknya. Merapikan beberapa berkas yang memenuhi mejanya, Amato menutup laptop.

"Eh pak, mau kemana?"

Baru saja Amato melewati pintu keluar, ada saja orang yang mencegahnya untuk pergi. Sekertaris barunya, Kemala.

"Bukan urusan kamu," ketus Amato yang sangat tidak ramah.

Kemala gelagapan, segeralah ia menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Maaf pak, tapi sebentar lagi ada meeting dengan para pejabat yang lainnya. Bapak nggak boleh pergi."

"Batalin."

Dagu Kemala terangkat, kedua matanya membulat lebar. "Pak, mana bisa dibatalin secara sepihak begitu. Bapak tahu kan kalau meeting ini penting?"

Amato memberikan tatapan dingin pada Kemala, tanpa sadar ia mengatupkan rahangnya erat-erat. Sepasang kepalan tangannya terkepal kuat.

"Keselamatan istri saya lebih penting dibandingkan dengan meeting sialan itu. Kamu tentu bisa mengurusnya kan?"

"Maaf pak kalau saya lancang, tapi sepertinya tidak bisa. Meeting ini membahas tentang kerja sama," Kemala pun membantah.

"Saya nggak peduli, Kemala! Batalin semuanya sekarang juga, saya nggak peduli kalau perusahaan saya dicap jelek oleh mereka. Istri saya sedang operasi sekarang!"

Kemala tersentak kaget karena dibentak oleh Amato, "ma-maaf, pak."

"Cih, buang waktu."

Menggeram kesal karena Kemala mencoba untuk menghambat pergerakannya, Amato langsung berlalu pergi begitu saja. Dia tidak peduli lagi pada apapun. Jika seandainya Amato tidak pergi kemari, pasti semua ini tidak akan terjadi.

****

Membutuhkan waktu lima jam untuk sampai ke rumah sakit yang ditinggali oleh Mara, padahal Amato sudah mengebut dan sering menggunakan jalan tikus tapi tetap saja membuang waktu.

Amato harap semuanya baik-baik saja. Sungguh, dia tidak mau jikalau ada sesuatu hal yang buruk menimpa keluarganya. Jika itu adalah bentuk karma atas perbuatan Amato di waktu lampau, Amato harap itu akan menimpa dirinya saja. Asalkan jangan keluarganya, cukup Amato saja.

Berjalan menggunakan ritme yang tergesa-gesa, Amato melewati beberapa koridor rumah sakit. Mencari kamar yang hendak ia tuju, laki-laki itu berusaha secepat mungkin untuk sampai.

Amato mohon, untuk kali ini saja, dia ingin semuanya berjalan dengan lancar.

Ketika sudah tiba di depan pintu ruang operasi, Amato langsung saja mendobrak pintu tersebut dengan amat kasarnya. Dan amat terkejut dirinya ini disaat mendapati bahwa ruangan operasi itu telah kosong.

Sialan, apakah operasinya sudah selesai? Tapi, dimana Mara sekarang?

"Keparat," maki Amato yang kesal dengan keadaannya sekarang. Dia marah pada dirinya sendiri.

Karena bingung harus kemana, Amato kembali menghubungi nomor tidak dikenal itu.

"Dimana istri saya?!" Amato membentak dikala si pemilik nomor itu menerima panggilannya.

"Operasinya berhasil, pak. Tapi...." Lagi dan lagi wanita itu malah menggantung ucapannya.

Ingin rasanya Amato memaki sekarang, "kenapa?"

"Mara koma karena kehilangan banyak darah, pak. Pihak rumah sakit tengah mencari stok darah yang sesuai untuk Mara tapi ternyata stok darahnya habis."

"Lalu bagaimana?"

"Pihak rumah sakit tengah berusaha, pak."

Menggigit bagian bawah bibirnya, Amato terpaku dan mematung. Tubuhnya membeku kaku. Tangannya perlahan turun dari hadapan daun telinga, tatapannya pun demikian hingga menatap hamparan keramik.

"Pak?"

"Tunggu sebentar, saya hubungi lagi nanti." Setelah itu Amato mematikan sambungannya.

Ia menyandarkan punggungnya di tembok koridor rumah sakit, Amato termenung. Dia bingung, apa yang harus Amato lakukan?

Maaf, Mara. Aku telat.

.
.
.

TBC....

Awoakwok, tragis dulu yak😭




SULIT DIMENGERTI [ END ]Where stories live. Discover now