21; sugar and smoke.

10.5K 971 248
                                    


———————————————————

Daxter melihat obat-obatan yang tercecer di lantai kamar mandinya, beberapa jatuh ke wastafel. Tanpa berniat mengambilnya lagi, Daxter justru memutar keran, yang membuat obat-obatan tersebut larut dalam air. Laki-laki itu menghela nafas.

Dia tidak butuh obat. Dia hanya butuh Solyn. Solyn-nya, ah, bisakah dia menyebutnya begitu lagi? Rasanya sudah lama, lama sekali hingga Daxter berpikir Solyn hanya sebuah hayalannya saja karena dengan cepat menghilang.

Takdir sialan.

Daxter meremas tangannya yang memegang pinggiran wastafel, matanya memerah dia pandangi dari bayangan cermin.

"Kenapa, sih? Saudara tiri itu gak dilarang buat punya hubungan, Lyn."

"Gue tahu. Tapi gue gak mau."

"Jangan egois."

"Maaf."

"Kita bisa tetep pacaran."

"Emang kapan kita pacaran?"

Ucapan Solyn yang menyakitinya, fuck. Daxter memang tidak terlalu pandai dalam berkata, dia tidak bisa bersikap manis atau berkata kalimat yang bisa membuat butterfly effect. Tapi dia pikir semua tindakannya selama ini bisa membuat Solyn berpikir bahwa dia benar-benar mencintai Solyn.

"Jadi lo mau kita pacaran sekarang?"

"Bukan gitu, Dax. Kalau udah jadi saudara gue mau kita lupain yang lalu, anggap gue adik lo,"

"Lo pikir gue bisa?"

"Bisa."

"Enggak lah, brengsek."

"Gue mohon."

"Mohon buat apa? Lo mau bersikap egois gini, sementara lo gak pikiran gue, Solyn."

"Jangan drama."

"Jangan drama kata lo?" Daxter jelas marah, dia menatap Solyn yang menunduk. "Jadi selama ini lo anggap perasaan gue main-main?"

Daxter tahu Solyn hanya berbohong, dia tahu gadis itu juga mencintainya. Dia tidak bisa berbohong, ketika bohong gadis itu akan menunduk dan tidak bisa menatapnya.

"Udah dong, gue gak mau bahas. Lo jadi kakak gue itu kenyataannya. Gue gak mungkin suka sama kakak gue sendiri, Dax."

Daxter hancur. Semesta yang dia bangun lagi kembali hancur, lebih dalam dari sebelumnya. Daxter benci pada takdir yang membuatnya tidak baik-baik saja sejak kecil dia tidak pernah normal meski berusaha, penyakit mentalnya tidak pernah sembuh, karena setiap kali dia mencoba, kenyataan kembali membuatnya roboh. Orangtuanya bercerai, tinggal bersama Ayah yang otoriter dan mengatur Daxter layaknya boneka, setelah bebas dan hidup bersama Nyokapnya, Daxter kembali mendapatkan kenyataan bahwa Solyn-nya pergi. Padahal alasan dia tersenyum adalah gadis itu. Hidup kembali tidak adil padahal baru saja Daxter mendapatkan kembali semesta yang dia mau, semestanya hancur bersama hati Daxter kala Solyn memilih hanya ingin menjadi saudaranya.

Sialan, brengsek.

Dada laki-laki itu sesak, setiap kali melihat Solyn di sisinya, jarak mereka dekat tapi tidak bisa saling menggapai. Daxter ingin gila rasanya, Solyn-nya egois dan tidak memilihnya.

Daxter memukul wastafel, menatap tajam bayangannya di cermin.

Apa karna gue monster, jadi Solyn tinggalin gue gitu aja?

Prang!!

Daxter baru saja memukul cermin hingga pecah, serpihannya berantakan, darah menetes hingga menempel ke dinding.

Tidak papa, coba sekali lagi. Ayo coba lagi, buat Solyn jadi milik lo.

Kalau dia gak mau gimana?

Paksa. Paksa aja.

Dia gak akan mau, dia gak suka dipaksa.

Pilihan terakhir, mati aja. Lo gak berguna.

Daxter memukul cermin lagi, guna menghilangkan suara-suara aneh dalam pikirannya.

Mati aja.

————————

"Hujan gini, lo gak berpikir sengaja pengen sakit biar gak sekolah, 'kan, Lyn?"

Solyn terkekeh mendengar tuduhah Jay padanya. Solyn berdiri di depan halte, tadinya sih tidak hujan tapi pas Solyn baru datang hujan tidak turun perlahan, langsung deras begitu saja.

"Belum pulang?"

Jay menggeleng. "Tadinya mau jemput ke kelas lo. Tapi lo udah ada di sini," katanya.

"Emang gak ada ekskul?" Tanya Solyn lagi.

Ada sih, tapi kayaknya bisa nganter lo dulu.

"Gak ada. Gue anter lo pulang, ya? Gue bawa mobil."

"Gak repotin?"

"Enggak," kan buat lo, calon cewek gue. Jay menggeleng. "Tunggu sini, jangan pergi dulu, ntar kehujanan lo sakit. Sana lebih mepet ke pojok biar gak kecipratan air."

"Iya." Solyn mundur, lalu Jay bersiap pergi, tubuh laki-laki itu setengah basah, jadi Solyn menahan tangannya hingga Jay tidak jadi pergi.

"Kenapa?"

"Lo—beneran suka ke gue?"

"Mau bukti?"

Solyn tersenyum, Jay ikut tersenyum. "Jay, suka ke gue aja. Jangan obsesi."

"Maksudnya?"

Solyn menggelengkan kepala, belum melepas tangan laki-laki itu. "Kalo gitu, buat gue jadi suka ke lo juga, Jay."

Tanpa lo minta, Lyn.

———————————————————

Besok lanjut. Ramein dulu yg ini.

sugar & smoke Where stories live. Discover now