Lembar Pertama

637 74 17
                                    

Begini, aku bukan orang yang suka meninggi. Mengumbar prestasi dan kebolehanku.

Tapi tidak dengan ibuku.

Beliau selalu mengatakan ke setiap teman kerjanya segala prestasi dan kebolehan yang aku miliki. Aku tau, dia hanya sedang bangga. Aku juga senang melihatnya bangga denganku.





Tapi kadang, kebanggaannya adalah beban pundak terberatku. Aku takut tidak memenuhi ekspetasinya, aku takut ibu kecewa, aku takut kalau apa yang dibicarakan ibuku di depan temannya nanti hanya dianggap bualan karena aku tidak bisa mempertahankannya.

"O-oh? Tujuh puluh? Padahal matematikamu dulu selalu di atas sembilan..."

Aku mendengarnya bergumam ketika aku menceritakan hariku. Kecewa, jelas. Anak kebanggaannya tidak lagi pintar seperti dulu. Sulit mempertahankan ketika otakku tidak lagi secemerlang yang dipikirkan ibuku.

"Nggak apa apa! Nggak apa apa, kok, anak ibu hebat!"

Senyumnya mengembang, mengungkap kalau itu bukan masalah besar baginya.

Tapi bagiku, ini sebuah hantaman.

Aku mengecewakan.

Jujur saja, semua anak pasti pernah merasakannya, kan? Meski orang tua tersayang tidak pernah memberi ekspetasi, tapi rasanya perlu membalas budi.

Aku tau, aku tidak sendiri merasakan ini. Yang aku tidak tau, bagaimana cara mereka melalui ekspetasi diri begini?

Bagaimana tidak mengecewakan ibu?

Bagaimana tidak mengecewakan ibu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang