Lembar Ketujuh

146 38 23
                                    

Seiring nama Bima sering terucap dari bibirku, sesering itu pula kami bertemu dan akrab.

Bahkan Sasa sampai heran. Bima selalu muncul di depan pintu kelasku setiap istirahat untuk menyeretku makan, tidak peduli meski aku kukuh ingin belajar.

Katanya, "Lo nggak gumoh rumus, gue yang gedeg! Udah makan! Nih nasi uduk Bu Saimin depan sekolah."

Sempat membuatku mematung sejenak karena bingung. Bisa bisanya dia membawa masuk makanan dari luar sekolah. Apalagi kita memakannya di belakang kantin, alias parkiran. Aku duduk di atas papan luncurnya, sementara dia tiduran di atas motor temannya.

"Bim, nggak makan?" tanyaku, membuka ikatan nasi uduk pemberiannya. Baunya harum juga, menggoda perut.

"Udah tadi bareng Tara," jawabnya.

"Tara siapa?"

"Ananta Rangga, kelas lo."

Aku manggut manggut, baru ingat kalau si ranking pertama kelas adalah anak pintar yang suka tiba tiba hilang saat pelajaran mendekati istirahat.

Rupanya dia teman Bima.

Makan ditemani semilir angin lembut, tiba tiba suara Bima bergumam, bersenandung nyaman di telinga. Wah, suasana yang berpotensi membuat kantuk.

Makananku habis, dan Bima selesai bernyanyi. Aku berdiri, bermaksud membuang sampah, namun suara Bima memanggil, "Kay."

"Hm?"

"Sabtu besok... kosong?"

"Kenapa?"

"Jalan yuk?"

"Jalan yuk?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now