Lembar Kedua puluh

105 35 45
                                    

Setelah semua penyiksaan ujian terlewati, Bima mengajakku melepas penat dalam sebuah piknik.

Bahkan, sejujurnya, kami sering berpiknik sepulang dari main papan luncur. Bedanya, kali ini benar benar piknik.

Karena sekarang, ada sekian hidangan di atas selimut duduk. Sebagian dari Bima, sebagian lagi masakanku.

Aku belajar memasak akhir akhir ini.

"Lo tau nggak? Masakan lo mirip banget sama masakan Mama. Bedanya cuma potongan daging sama wortel."

Aku mengangkat alis, "Potonganku jelek ya?"

"Bukan, tapi agak terlalu besar. Tapi lo pemula, Kay. Segini juga keren banget. Yang penting rasa!"

"Enak?"

"Enak!"

"Besok mau masak nasi uduk kali ya?"

Bima lantas duduk menghadapku dengan tatapan memelas, bahkan tangannya menggenggam satu tanganku. "Mau. Banget. Plis."

"Hahahahah. Sejak nggak ke sekolah jadi jarang ke Bu Saimin. Apa kabar ya?"

"Bu Saimin lagi sama Pak Saimin sekarang," jawab Bima santai, beralih tiduran di sebelahku.

"Semoga mereka sehat sehat."

"Amin." Bima terkekeh, kemudian melanjutkan, "Semoga panjang umur biar bisa lihat anak kita."

Anak—siapa?

"Uhuk! Uhuk Bim!"

Bima kelabakan melihat aku tersedak. Masalahnya, ini tersedak soda. Perih tenggorokan yang ada.

"Maaf ih! Kan nggak tau kalo lo lagi minum."

"Lagian kita masih jauh buat ngomongin itu," dengusku, "Kuliah aja belum. Masa mau nikah."

"Ya udah tunangan dulu."

Aku mendelik. Sedikit waswas ketika Bima merogoh tas bawaannya. Entah harus senang atau panik, apa aku terlalu percaya diri?

Tadinya, aku mengira dia akan mengeluarkan cincin. Tapi rupanya, dia hanya mengeluarkan origami.

Memang berprasangka itu tidak baik.

"Ngapain?" tanyaku.

"Bikin cincin kertas."

Abimanyu dan segala jalan pikiran anehnya.

Aku mengamati Bima yang kemudian mengeluarkan ponsel. Mencari salah satu video tutorial dan memberikan selembar origami padaku.

"Ayo bikin. Nanti kita tukar cincin," ajaknya.

Menggemaskan.

Maka, kami menghabiskan sisa hari untuk membuat cincin kertas. Ditemani cemilan di sela sela melipat. Bahkan omelanku menyela ketika Bima salah melipat, atau aku yang kurang rapi melipat dan Bima yang membetulkan.

Yang namanya kebahagiaan ternyata sederhana sekali.

Ketika cincin sudah jadi, aku dan Bima sama sama memekik girang. Cincin biruku untuk Bima, sementara cincin merah muda buatannya untukku.

"Ayo tuker cincin!" seru Bima.

Pemuda itu meraih tangan kiriku, memilih jari manis untuk dipaskan. Memakaikan cincin buatannya yang agak kebesaran melingkari jari manisku dengan apik.

"Cantik," pujiku.

Bima tertawa, "Kayak yang punya."

"Bima!"

Kini, ganti Bima yang menyodorkan tangan kirinya. Sudah siap—bahkan menggoyangkan jemarinya lucu agar segera dipakaikan cincin.

Sebuah keajaiban, cincin buatanku ternyata pas di jari manisnya. Padahal aku kira akan kekecilan.

"Keren!" serunya.

Sebagai akhir piknik, kami mengabadikan jari dan cincin kertas dalam sebuah gambar. Abimanyu dan keisengannya mengunggah gambar itu ke sosial media, hingga menuai reaksi kaget dari banyak orang.

Mereka kira kami sungguhan menikah.

Meski aku harap juga begitu.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

critanya tu lagi gabut di kelas, trus temenku ngajak bikin ini, trus kepikiran "lah ini mah abim banget

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

critanya tu lagi gabut di kelas, trus temenku ngajak bikin ini, trus kepikiran "lah ini mah abim banget...."

Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now