Lembar Kelima - bagian depan

185 44 17
                                    

Biasanya, aku tidak pernah membolos pelajaran.

Tapi hari ini saja, aku ingin sendiri. Menumpahkan lelah dan tangis karena semua terasa sia sia.

Ujian sudah berlalu lama, bahkan nilai sudah keluar. Memang benar kata pepatah untuk jangan berekspetasi pada manusia, karena pasti akan berujung kekecewaan.

Aku manusia, dan aku berekspetasi pada diriku. Berakhir dengan kata kecewa yang menakutkan.

Aku bukannya menangisi nilaiku, tapi menangisi diriku dan usahanya. Bukan membawa hasil yang diharapkan, malah sepertinya sangat mengecewakan.

Masih jelas di benakku ekspresi ibu waktu melihat rapotku. Bukan marah, bukan juga kecewa. Tapi senyum tipis, dan itu menyakitkan.

Tong sampah di belakang kantin yang sepi sekarang menjadi saksi semenyedihkan apa diriku. Berusaha keras menahan isakan sementara air mata tidak berhenti mengalir. Menyedihkan.

Kantin sepi, jelas. Ini masih jam pelajaran. Tidak akan ada yang menyadari aku menangis di sini.

Setidaknya begitu pemikiranku sedetik lalu, sebelum suara seseorang memecah hening.

"H-hei? Mau tisu?"

Aku terlonjak, serta merta mengangkat pandangan untuk melihat siapa yang menyapa. Antara kaget dan malu.

Rupanya, seorang pemuda familiar sedang duduk tidak jauh dari tempatku menangis. Mungkin satu setengah meter jaraknya, dia duduk dekat parkiran motor, punggungnya menyandar tembok sementara tangannya terulur menyerahkan dua lembar tisu lipat.

"Maaf, gue nggak sengaja denger, tapi... lo nggak apa apa?"

Aku meneguk ludah, mengangguk kecil untuk menjawab. Sementara otakku malah memutar memori lama yang memalukan.

Dia pemuda itu.

Pemuda di bawah jembatan layang, bahkan papan luncur kesayangannya sedang beristirahat tidak jauh dari sang pemilik.

"Ini... bisa diambil nggak tisunya? Tangan gue pegel..."

"Oh-oh iya, maaf. Makasih."

Aku beringsut mendekat, merangkak kecil untuk memangkas jarak hingga menggapai tisu pemberian. Mengusap kasar wajah sembabku dalam diam.

Sekarang kami seperti berbaris saat olahraga, dengan selisih dua lengan yang direntangkan.

Ingin tahu, aku perlahan mencuri pandang. Si pemuda tidak lagi bertanya dan fokus ke kakinya sekarang. Juga siku tangan yang-

"Apa lukanya sakit?" tanyaku serak.

Dia menoleh, menatapku dengan senyum kecil, "Sedikit."

"... Sebentar ya, aku ambil obat di UKS. Tunggu di sini."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now