Lembar Kesebelas

114 32 41
                                    

Abimanyu dan kesupelannya sudah membawaku berkelana menjajal setiap gerobak kaki lima di kota. Sudah berapa bulan kami bersama sampai Bima mengenalkan aku dengan baik ke setiap pedagang langganannya.

Dua? Oh, bukan, sudah masuk bulan ketiga sepertinya.

Tapi khusus kali ini, kami berkencan di perpustakaan kota. Katanya Bima mau menemani aku belajar untuk perlombaan.

"Bawa papan luncur?" aku membuka suara ketika Bima datang dengan papan luncur kesayangan dan sekaleng soda.

Pemuda itu mengangguk, tersenyum girang dan duduk di depanku, "Deket sini ada taman buat main. Lo udah daritadi, Kay?"

"Belum, baru mau kerja soal."

Bima manggut manggut, menyesap sekaleng soda dinginnya sambil mengamati.

Di tengah senyap, tiba tiba Bima bertanya, "Itu apa?"

"Apa?"

Telunjuknya mengarah pada segelas kopi pesananku sebelum kesini. Sengaja kopi, biar aku tidak mengantuk waktu belajar.

"Kopi."

"Pahit?"

"Mana ada yang manis?" tanyaku sarkas.

Tanpa babibu, Bima malah meraih kopiku. Menyesapnya sedikit kemudian memberi raut wajah aneh, "Pahit."

"Siapa suruh coba?"

Pemuda itu kembali mendengus, kali ini menyesap kopiku sambil menatapku. Kemudian berdeham, "Sekarang baru manis."

"Bohong," cibirku tidak percaya.

"Beneran tau. Soalnya gue lihat elo."

Buaya.

Lantas cepat cepat aku menundukkan wajah, malu. Menyebalkan. Bisa bisanya membuat tersipu kala aku belajar.

"Hehehe, lo sering minum kopi?"

"Lumayan, buat teman belajar."

"Kok gue ga pernah tau?" Bima kembali menyesap kopiku, serasa milik sendiri.

"Ya kan kamu jarang ke perpus temenin aku belajar."

"Oh?" Bima mengangkat alis, tersenyum tengil, "Jadi mau gue temenin terus belajarnya nih?"

Sial, ini namanya senjata makan tuan.

Aku mendengus, berujar ketus, "Gak usah."

"Galak." Bima terkekeh, "Jangan keseringan, Kay, minum kopi. Ga baik kalo berlebihan. Udah, ini buat gue aja."

"Loh? Terus aku?!"

"Cobain nih." Kaleng soda yang tinggal setengah itu diletakkan di depanku. Bertukar minum rupanya.

"Cobain," ulangnya, tersenyum meyakinkan.

Aku meragu, menggoyang-goyangkan isinya sebentar sebelum bertanya, "Ini? Minuman bersoda gini?"

"Iya. Enak tau. Pernah coba nggak?"

"... Pernah waktu kecil."

"Suka?"

"Lidahnya seperti ditusuk."

"Justru itu sensasinya!" Bima memekik tertahan, kembali mencondongkan tubuh untuk berbisik, "Soda tuh bikin lega perut."

Aku menghela napas panjang. Abimanyu dan segala bujukannya. Berakhir dengan aku yang menyesap soda miliknya, merasakan sensasi aneh di lidah yang diikuti sendawa.

Oh tidak.

Aku baru saja mempermalukan diri.

"Maaf—"

"HAHAHAHAHAHA KAY NGGAK APA APA HAHAHAHA NORMAL KOK, gue malah bakal lebih panik kalo lo ga sendawa, jadi jangan malu! Bagus, Kay, bagus. Lo ngehayatin banget sensasinya soda."

"Bim..."

"Ga apa apa, Kay, ambil aja soda gue, nggak masalah. Tenang, gue ga bakal putusin lo cuma gara gara sendawa kok—pft."

"... Malu."

"

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن