Lembar Kedua puluh lima

117 36 17
                                    

Aku menyesal.

Banyak yang aku sesali.

Selama hidup, dari banyaknya penyesalan, yang ini terasa lebih menyakitkan. Bukan lagi remuk, tapi hancur.

Demi tujuan mulia, yang siapa sangka mengorbankan nyawa terkasih.

"Abimanyu," bisikku, tidak lagi punya kekuatan untuk bersuara maupun tersenyum. Bahkan air mata sudah terkuras sejak sejam lalu.

Biasanya, jemari ini mengusap lembut sebuah surai legam. Tapi kini, yang aku rasakan hanya batu dingin.

Abimanyu Giandra.

Terukir penuh penghormatan dengan tinta emas di atas batu. Bahkan bunga segar menumpuk di atas tubuhnya.

Dia menyelamatkan nyawa seorang anak, dan mengorbankan miliknya. Mulia, sayangku begitu mulia. Tapi apa dia mengerti kalau harga yang dia bayar terlalu besar? Aku tidak sanggup, hancur.

Manusia dari awal memang berasal dari tanah. Kemudian pada akhir garis hidup, kita kembali ke rumah awal—tanah.

Yang menjadi penyesalan bagiku, karena aku tidak merasa cukup mengembalikan semua kebaikan Bima dalam hidup. Penyembuh luka, penolong lara, pengganti ayah.

Mau sampai kapan semesta mempermainkan aku dan luka?

Rasanya seperti menggerus luka kembali. Tapi yang ini, aku tidak kuat.

Aku tidak sekuat itu.

Apalagi tanpa siapa siapa.

Abimanyu, kamu bercanda, kan, sayang?

Abimanyu, kamu bercanda, kan, sayang?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now