Lembar Kedua belas

111 34 30
                                    

Siang terik, tapi tidak ada pohon rindang. Aku hanya bisa berlindung di bawah jembatan layang sembari mengamati Bima yang mondar mandir dengan papan luncurnya.

Aku mendengus, lagi lagi menjadi orang ketiga di hubungan Abimanyu dan papan luncur. Padahal di sini aku pacarnya.

Bahkan, bekal sodaku sudah sisa setengah botol, dan Bima belum duduk mengobrol denganku.

Sampai pemuda itu banyak tingkah dan jatuh dari papan luncurnya. Seketika aku berdiri, panik tentu saja.

"Kan!" sentakku sebal, buru buru mendekati Bima dan memeriksa dirinya.

"Ada yang luka? Sakit? Mana? Lebam? Makanya! Udah dibilangin kamu jangan banyak tingkah, nanti jatuh luka lagi!"

"Ish, galak," rengut Bima, menangkup wajahku yang panik.

"Mana yang sakit?!"

Bima menunjuk telinganya dengan satu tangan, menjawab, "Ini. Panas."

"Yang bener!"

"Beneran tau! Tapi ga apa apa deh, gue suka denger lo ngomel, hehe. Jarang jarang."

Aku memukul lengannya gemas. Merasa agak sia sia mengkhawatirkan seorang Bima sampai lupa kalau dia tengil.

Pemuda itu mendesis sakit, hingga lengan kausnya jatuh dan terlihat kalau sikunya luka. Kebiasaan.

Aku berdiri, menarik serta Bima untuk duduk denganku di pinggir arena. Membuka tasku untuk meraih obat merah.

Bima terlihat biasa saja. Malah meminum kopinya dengan santai. Hingga obat merah menyentuh lukanya, pemuda itu memekik kaget, kemudian merengek.

Lebay.

"Diem. Siapa suruh hobi jatuh?" cibirku.

Bima masih merengek hingga Yordan, temannya, datang untuk menertawai pemuda itu.

Katanya, "Gapapa, Kay! Kasih yang kasar!"

"Sembarangan—ADUH! SAKIT!"

"Ini udah paling pelan, ya, Bim."

"Pelanin lagi!"

"Nggak. Tahan."

"Hahahahaha." Yordan duduk di depan kami, mengamati sejenak. Sepertinya rela jadi nyamuk hanya untuk bertanya, "Kalian udah jalan berapa bulan sih?"

"Setengah tahun."
"Tujuh."

Aku mendelik, menatap Bima kesal, "Tujuh bulan. Kamu lupa?"

"Hah?" Bima balik mengernyit, "Bukan masih enam bulan?"

"Bim????"

"Enam kan?"

"Bima, ini bulan September!"

"Lah, bukan masih Agustus—ADUH SAKIT LUKA GUE JANGAN LO GITUIN DONG, SAYANG."

"HITUNG YANG BENER."

"IYA IYA TUJUH BULAN IYA, DUA BULAN LAGI LAHIRAN!"

"BIMA!"

"BIMA!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now