Lembar Kedua puluh enam

112 35 20
                                    

"Besok, gue janji, kalau kelak kita yang bakal ngehiasin langit."

"Pakai apa? Senter?"

"Kembang api dong, sayang. Hehe, hari ini jadi penonton dulu, ya? Kita belajar dulu cara bersinar, baru bertugas menerangi langit tahun depan."

Aku mendengarnya dengan jelas. Suara Bima, tawa renyahnya, bisikan sayangnya. Menyela di tengah riuh bunga api yang bersahutan, menyambut tahun baru yang akan datang.

Di saat sebagian besar manusia di dunia menyambut semangat pergantian tahun, mengharap sebuah awal baru di lembar baru, membayangkan sebuah kesempatan di babak baru. Aku, di sini, tidak merasa ada harapan untuk esok hari.

Luka saat kehilangan ayah rasanya kembali digerus dengan duka. Kehilangan Bima benar benar menghilangkan semangat hidup.

Abimanyu, rasanya aku tidak sanggup. Aku baru saja merasa sembuh kemarin, kenapa memberi luka lagi?

Melihat ke ujung ruangan, aku menemukan sepotong papan kesayangan Bima yang ujungnya patah, terpajang apik menunggu dimainkan kembali.

Semua memori Bima kala berselancar dan terjatuh kembali terputar di benak. Tidak mau enyah atau sekadar menyingkir agar aku bisa menenangkan hati.

Kemudian, di ujung semua sakit hati, aku berakhir dalam bak mandi penuh air. Dingin, tidak ada lagi genggam dan peluk hangat dari yang terkasih.

Entah sudah yang ke berapa, aku berakhir berendam seperti ini di setiap penghujung hari, tengah malam kala pikiranku berantakan. Diam, sunyi, dingin.

Abimanyu, aku rindu.

Abimanyu, kapan pulang?

Abimanyu, kamu hanya pamit sebentar, pasti kamu kembali, kan?

Abimanyu, boleh kita bertemu sekali lagi?

Abimanyu, kalau tidak ada kamu, aku harus apa?

Lambat laun, sorak bunyi tetangga yang menyambut tahun baru teredam oleh tekanan air. Aku semakin merosot seiring asa semakin putus.

Paru paruku mengais oksigen, sampai membiarkan lembab menguasai kerongkongan. Pun mata yang aku paksa memejam, menikmati sakit yang semakin membulatkan tekadku untuk bertemu Bima.

Selamat tinggal, tahun baru. Semoga kamu menjaga kebahagiaan orang orang baik yang kelak aku tinggalkan.






Namun sayup, sebelum kehilangan kesadaran, aku mendengar sebuah suara menyayat. Memanggil, "KAYLEEN!"

Oh, benar. Ibu, maaf... Lagi lagi aku mengecewakan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Where stories live. Discover now