Lembar Kelima-bagian belakang

151 42 14
                                    

"A! Sakit, pelan pelan dong..."

"Ini udah yang paling pelan. Tahan."

Siapa sangka dia pemuda yang mudah merengek ketika diberi obat merah sedikit. Lagipula, lukanya tidak separah itu walau banyak lecet.

"Jatuh dari papan luncur berani, masa bertemu obat merah menangis?" sindirku.

Lihat badan besarnya, bisa bisanya takut dengan setetes obat merah di atas luka yang dia buat sendiri? Tidak kontras.

Dia mendengus, balik menyahut, "Lo inget gue?"

"Apa?"

"Yang di halte bus waktu itu."

Aku mengangguk kecil, berpindah mengobati luka di lengan kanannya. Ck, dia benar benar hobi terluka, ya?

"Lo beneran... nggak apa apa?"

Reflek, aku mendongak. Bersitatap dengan netra manis khawatirnya walau masih berpura pura cuek karena kami orang asing.

"Nggak apa apa," jawabku singkat.

"Waktu pertama kali kita ketemu, gue nemuin lo karena lo pingsan, pucat, pasti gara gara ga makan."

"Pertama kali kita ketemu, aku lihat kamu jatuh dari papan luncur," balasku tidak mau kalah.

Dia mendengus lagi, masih punya argumen, "Sekarang, gue lihat lo lagi nangis. Yakin nggak apa apa?"

"Sekarang," balasku, mendongak untuk menatapnya, "Aku lihat kamu luka luka."

Diam sejenak untuk mempertahankan argumen masing masing, lambat laun tatapannya luluh. Dia mengulas senyum tipis sambil menatapku.

"Abimanyu." Kata singkat terucap dari bibirnya setelah itu, mengundang tanya agak lama sebelum dia melanjutkan, "Lo?"

"... Kayleen."

"Makasih ya udah diobatin, Kay."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sastra Rasa dari Karsa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang