32 • Orang Jahat?

819 40 8
                                    

Happy Reading All

🖤
.

"Semoga," balas Vania berharap.

"Gea."

Vania menoleh ke arah seseorang saat merasa namanya disebut, Vania heran kenapa mendapati Elvan yang tumben sekali menghampiri dirinya duluan, kini Elvan berada di hadapannya dengan menatap ke arahnya tidak setajam dan secuek biasanya.

"Kamu beneran Gea?" tanya Elvan dengan suara rendah.

Ekspresi Vania saat ini terlihat cuek, ia tidak berlebihan seperti biasanya, yang dimana dirinya akan kesenangan sendiri ketika dirinya berada di posisi sekarang. "Gue sekarang Vania, bukan Gea." ucap Vania dengan cuek, ia tidak menatap ke arah Elvan.

"Gue minta maaf--"

"Arven! Tadi lo manggil gue kan ya? Tunggu bentar!" sela Vania kala tidak sengaja melihat Arven yang hendak memasuki kelas, ntah dari mana cowok itu.

"Hah?" beo Arven tidak mengerti, otomatis dirinya berhenti melangkah tepat berada di depan pintu kelas kala Vania mengedipkan satu matanya.

Tanpa pamit pada Elvan, Vania langsung saja melangkah cepat menghampiri Arven dan tidak menghiraukan Elvan lagi.

"Ayo ajak gue pergi dari sini, alasan kemana kek." Bisik Vania pada Arven, yang pasti tidak akan bisa di dengar oleh Elvan. Kenapa Vania milih Arven? Karena Arven orangnya bisa diajak kerja sama.

"Oh itu! ayo ke ruang guru, Van. Lo kan belum ngisi data-data kan? Yaudah ayo, sekalian gue juga mau ngisi." Arven meraih pergelangan Vania yang dilapisi seragam sekolah yang berlengan panjang, sehingga tidak menyentuh kulit. Tenang saja bestie, Arven anak baik-baik.

Arven dan Vania pun sudah tidak nampak lagi di penglihatan Elvan, ya, sedari tadi Elvan terus memperhatikan mereka.

"Vania udah ngejauh dari lo, dia udah nurutin kemauan lo. Dan sekarang, gue liat lo mau deketin Vania? Maksud lo itu apa si? Awas lo kalo sampe nyakitin sahabat gue lagi! Gue tandain muka lo!" ucap Meli pada Elvan, karena Elvan sampai sekarang belum beranjak dari tempatnya berdiri di dekat meja Vania.

"Tenang aja, gue ngga bakal nyakitin dia."

•••Zelvano•••

"Gue liat, tumben lo ngga sama Salsa? Tadi gue ngeliat Salsa sama Ica, kenapa ngga sama lo? Ya aneh aja si menurut gue," ujar Arven mulai bersuara, kini mereka tengah duduk di kursi taman.

"Hubungan gue sama Salsa, lagi ngga baik-baik aja," jawab Vania apa adanya.

"Kalian.. lagi marahan kek bocil gitu?" tanya Arven dengan raut polos.

Vania sedikit terkekeh. "Ya ngga kek bocil juga kali."

"Oh iya, kok lo tumben keliatan ngga seneng ada Elvan? Elvan tadi nyamperin lo duluan kan? Kenapa, berubah lo? Kek bunglon aja bisa berubah warna." Arven terkekeh kecil.

"Yakali tubuh gue berubah?"

"Maksud gue karakter lo ada berubahnya juga." Jelas Arven.

"Kenapa? Lo ngga suka juga ya kalo gue udah ngga perjuangin Elvan lagi?" tanya Vania dengan diakhiri dengusan pelan, matanya menatap ke arah orang yang berlalu lalang.

"Kata siapa? Kenapa lo bisa bilang kek gitu? Semua manusia pasti ada titik lelahnya, gue tau, mungkin ini ngga mudah bagi lo hingga lo memutuskan buat menyerah?"

Vania beralih menatap Arven. "Lebih tepatnya gue udahin apa yang bukan ditakdirkan buat gue."

"Karena mau sekuat apapun gue perjuangin, ya kalo bukan takdir, gue bisa apa? Ngga ada yang bisa ngerubah takdir Tuhan. Semua udah sesuai porsi nya masing-masing." Imbuhnya.

ZELVANO [selesai]Where stories live. Discover now