Bab 17

18.5K 1.7K 29
                                    

10 tahun berlalu begitu saja, Lio kini sudah tumbuh menjadi remaja yang manis. Ia sudah bersekolah jenjang Sekolah Menengah di sekolah umum namun tetap milik daddynya. Tentu saja penuh perjuangan untuk mendapatkan dapat izin di sekolah umum.

Saat ini Lio tengah duduk santai di taman belakang sekolah yang jarang dikunjungi siswa lain.

Lio mengernyit saat mencium aroma manis marshmellow. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal aroma.

Tatapannya terpaku pada seorang gadis dengan rambut sebahunya. Lio memegang dadanya yang terasa berdebar.

"Cantik..." Gumam Lio.

Lio berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah gadis yang tengah menutup matanya dengan menyender pada pohon.

Tangan putih itu terulur untuk menyingkirkan beberapa rambut yang menganggu Lio melihat wajah tersebut.

Tatapan Lio terpaku dengan kagum pada wajah gadis tersebut yang baginya cantik.

Terlalu fokus mengamati wajah gadis tersebut, Lio tidak sadar jika gadis itu perlahan membuka matanya.

"Siapa..?"

Mendengar suara yang terdengar secara tiba-tiba membuat Lio terkejut, segara ia menarik tangannya.

"Um...H-halo?" Lio tertawa canggung sekaligus malu.

"...Y-ya, halo..." Gadis tersebut juga merasa malu.

Lio menggigit bibir bawahnya lalu ia memutuskan untuk duduk di sebelah gadis yang hanya diam mengamati.

"Nama kamu siapa? Kenalin, aku Lio." Lio menoleh ke gadis tersebut yang juga menatapnya.

"Nama ku Nanda."

Dua-duanya terdiam dengan keadaan saling menatap satu sama lain. Nada dering telepon membuat mereka secara bersamaan menatap pada saku Lio yang terlihat bergetar.

"M-maaf..." Lio segara mengambil handphone miliknya lalu sedikit menjauh.

Daddy Lio ( ◜‿◝ )♡

Lio menekan tombol hijau pada layarnya lalu mendekatkan handphone ke indra pendengarannya.

"Halo, ya Daddy?" Lio berucap dengan sedikit pelan, ia merasa malu jika gadis itu tau ia memanggil kata Daddy.

"Daddy di luar sekolah mu."

"Ya dad, sebentar lagi Lio keluar."

"Ingat, jangan berlari bab-" Belum sempat Felix menyebutkan panggilan kesayangan untuk putranya, Lio sudah mematikan terlebih dahulu.

Felix mengernyit heran saat putranya mematikan telfon tanpa ada kata 'Love you dad!'. Ada perasaan kesal dan kehilangan secara bersamaan di dalam dirinya. Ia menghela nafas kasar dan menyenderkan badannya pada kursi mobil.

Kembali pada Lio, setelah ia mematikan telfon dengan cepat ia mendekati ke arah Nanda yang masih menunggunya.

"Maaf, Lio pergi duluan ya? Oh iya, kalau boleh Lio minta nomornya. Boleh?" Lio menyodorkan handphone ke arah gadis tersebut tanpa rasa malu. Yang dipikirkannya hanya bagaimana agar ia bisa dekat dengan Nanda.

Lio tersenyum melihat tidak ada penolakan. Ia mengamati Nanda dengan mata bulatnya yang indah, tidak berubah sejak kecil hingga sekarang.

"Ini." Nanda mengulurkan handphone dengan tersenyum.

"Makasih!" Lio tersenyum cerah lalu mengambil handphone tersebut.

Lio melambaikan tangannya pada Nanda dan di balas dengan hal yang sama. Melihat senyum Nanda membuat pipi Lio bersemu merah.

Berada di area luar sekolah, Lio dapat melihat sebuah mobil mewah miliknya daddynya. Ia pun berjalan mendekat dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa lama?" Felix berucap tanpa intonasi.

"Nan...um, tadi dipanggil guru Daddy." Hampir saja Lio mengatakan 'Nanda' jika saja kata itu berhasil lolos dari bibirnya pasti ia akan di interogasi.

"Hm..." Felix merasa jika putra bungsunya berbohong padanya. Memilih tidak memikirkan hal itu, Felix melajukan mobil untuk ke mansion mereka.

–––

Lio tengah berbaring di kasur lembutnya, tangannya memegang handphone yang menampilkan chat dengan nama 'Nandaa'.

Jari-jari mungil itu sudah beberapa kali menghapus kata yang ingin Lio ketik. Namun, ia ragu.

"Baby?"

Lio tersentak mendengar suara Abangnya Keenan. Ia dengan cepat merubah posisinya menjadi duduk lalu menaruh handphonenya di belakang tubuhnya.

"Uh...i-iya?" Lio menggenggam kedua tangannya gugup di atas pahanya.

"Why are you nervous? are you hiding something?" Keenan menatap datar pada adiknya yang tengah menunduk.

"No...!" Lio menggeleng dengan cepat.

"A-abang!" Lio berusaha memegang handphone miliknya yang diambil alih oleh bang Keenan.

"Lepas." Keenan menyentak tangan adiknya dengan kasar.

"Um! N-no Abang!" Lio menggeleng kencang tetap mempertahankan pegangan terhadap handphone miliknya.

Tatapan Keenan menggelap, ia sudah berada di ujung kesabarannya. Tangan yang berusaha merebut handphone milik Lio terlepas, tergantikan dengan surai milik Lio. Untuk pertama kalinya, ia berbuat kasar pada adiknya.

"Ingin menjadi kelinci liar huh?" Keenan terkekeh sinis.

Lio sendiri sudah tidak terpikirkan oleh handphone miliknya, kepalanya terasa sakit karena tarikan oleh abangnya yang kencang.

"...S-s-sakit..."

Lio memegang tangan besar tersebut dengan harapan bisa melepaskannya, namun sayangnya tidak bisa. Air mata lolos membasahi pipinya.

"B-bang Ken...s-sakit hiks..."

Keenan melonggarkan tarikan pada surai halus tersebut, ia mengusap surai tersebut lalu mengecupnya sebagai permintaan maafnya.

"Sorry..." Keenan mengecup pelipis Lio lalu menghapus air mata yang membasahi mata bulat dan kedua pipi berisi milik adiknya.

"Hiks...jahat!" Lio lemah jika dikasari, ia tidak bisa diperlakukan kasar seperti tadi. Sedari kecil ia terbiasa diperlakukan lembut.

"Maaf, maaf...berhenti menangis Lio." Keenan menyatukan keningnya dengan kening milik Lio. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mengontrol rasa emosinya.

"Kakak mohon, hm?"

"Hiks...kepala Lio sakit..." Lirih Lio di sela tangisnya, ia menatap tepat pada netra yang terlihat teduh milik kakaknya.

"Di sini?" Keenan kepala surai Lio dengan lembut.

"Umh..." Lio hanya bergumam lirih.

Lio dengan manja memeluk leher abangnya, tidak perduli Keenan yang harus menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh dan menindih tubuh mungil miliknya.

"Sudah tidak sakit?" Keenan tetap mengusap lembut kepala bagian belakang adiknya.

Tidak mendapat jawaban, Keenan melirik adiknya dari samping. Ia menghela nafas kecil mendapati Lio yang tertidur bersandar di bahunya.

Dengan perlahan Keenan melepaskan tangan putih milik adiknya yang melingkar di lehernya. Setelah terlepas, ia membaringkan kepala Lio di atas kasur dengan perlahan.

Ia menatap wajah milik Lio yang selalu menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan hatinya.

"Tetap di sisi kakak, Lio..." Keenan takut, bagaimana jika Lio menyukai seorang gadis, dan adiknya menginginkan kebebasannya. Itu yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya.

ObsessionWhere stories live. Discover now