Bab 23

12.5K 1.1K 19
                                    

Lio tersenyum, tiga hari berada di mansion milik sang daddy membuat ia sangat rindu dengan mansion di depannya.

Lio berlari masuk ke mansion tanpa menghiraukan rasa panik Felix. Ia melihat Opa dan Oma yang tengah berada di ruang tamu namun ia hanya tersenyum dan menyapa sekilas sebelum akhirnya kembali berlari untuk ke lantai tiga, lebih tepatnya kamar Vano.

"Kak Van-" ucapan Lio terpotong, ia terdiam melihat mommy Lyra yang terduduk di lantai dengan dua tangan yang menutupi wajahnya diikuti badan yang sedikit bergetar.

"Mommy...?" Lio mendekat, ia khawatir melihat mommy Lyra yang tengah menangis.

"Mommy kenapa nangis?" Lio menatap pada Vano yang hanya diam tanpa mau menatap mommy Lyra.

Tatapan Lio kembali pada mommy Lyra, namun ia mengernyit melihat sebuah koper.

"Ini salah kamu..." Suara lirih Lyra membuat Lio terpaku, hatinya merasa sakit mendengar ucapan tersebut.

"L-Lio..." Lio bergumam dengan suara kecil, mata bulatnya berkaca-kaca ingin menangis.

"Andai kamu tidak hadir di tengah-tengah kami...kenapa?!" Lyra memegang bahu Lio dengan kencang.

"Mom!" Vano dengan sigap menarik Lio untuk berada di belakangnya.

"Kenapa? Bukannya kamu juga tidak suka dengan kehadirannya kan, sayang?"

"Itu bukan Vano!" Bantah Vano tanpa ragu.

Lyra terkekeh kecil dalam tangisnya, "jika bukan kamu lalu siapa?"

Vano terdiam. Ia hanya memalingkan wajahnya menatap Lio yang masih menunduk.

"Udah, Mommy capek. Ayo pergi Vano." Lyra berdiri lalu meraih kopernya.

"Sorry mom, Vano-"

"Stop! Terserah kamu ikut atau tidak!" Lyra berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

Blam!

Lio ingin menahan sang mommy tetapi Vano memegang tangannya erat.

"Maaf, ini semua gara-gara Lio ya..." Jari-jari mungil itu menggenggam erat pakaian milik Vano.

"Sekalipun iya, itu sudah terjadi." Ucap Vano, ia menepuk pelan kepala Lio dengan kaku. Vano tidak tau bagaimana mengekpresikan perasaannya.

Mendengar tangis Lio yang semakin kencang membuat Vano panik.

"B-berhentilah menangis."

"M-maaf...kalau aja Lio gak hadir di sini semuanya-"

"Omong kosong!"

Lio tersentak, ia sedikit mengangkat wajahnya.

"Berhenti berkata omong kosong. Justru kehadiranmu yang kami nanti, Lio." Lirih Vano di akhir kalimat.

"Jangan anggap semua kesalahanmu." Ucap Vano sembari menghapus air mata Lio.

"Kakak...masih benci Lio?"

Gerakan Vano terhenti, ia menatap netra bulat milik adiknya dengan datar.

"Kapan aku mengatakan hal itu?"

"D-di tangga..."

Vano menghela napas, "itu bukan kakak."

Lio diam, kalau buka kak Vano lalu siapa?

Suara pintu terbuka membuat semua menoleh, Felix menatap kedua putranya dengan lembut.

"D-daddy, mommy pergi." Lio mendekat ia menatap Felix dengan mata sembabnya.

"Tidak apa, kalian masih punya daddy." Felix menyamakan tingginya lalu memeluk Lio yang bergetar dalam pelukannya.

Anggukan kecil Felix berikan untuk Vano, "kemari Vano."

Vano terdiam, ia berjalan dengan ragu mendekat.

"Maaf, daddy tidak bisa menghentikan mommy pergi." Felix menarik Vano ke dalam pelukannya. Ia merasa bersalah karena semua ini berawal dari dirinya.

"Ya..." Jawaban kecil Vano berikan.

"Kamu... mau ikut daddy kan? Walau daddy bukan ayah kandungmu, daddy harap kamu tetap di sini."

Vano melirik Lio yang tampak menatapnya dengan sedih. Ia tersenyum, "aku ikut daddy."

"Uh, hic..." Vano dan Felix kompak menatap Lio yang terisak dengan menyembunyikan wajahnya di dada Felix.

"Sayang, kenapa?" Felix mengusap punggung putranya dengan perlahan.

"L-Lio...kira kakak mau pergi ikut mommy juga..."

"Tidak sayang. Vano tetap di sini, jangan sedih oke?" Dengan lembut Felix menjelaskan.

"Cengeng."

Lio mendengar hal tersebut menoleh, ia melihat wajah Vano yang tampak menyeringai mengejek ke arahnya.

Dengan sesenggukan Lio menunjuk pada Vano, ia menatap Felix seakan mengadu.

"K-kakak hic.."

Felix terkekeh kecil, "benar, putra daddy cengeng sekali."

Lio terdiam dengan pupil mata bergetar, dirinya menarik napas seakan siap untuk tangis yang lebih kencang.

Melihat putranya yang siap untuk menangis, Felix tersenyum. "Maaf, daddy bercanda sayang."

Tepukan lembut pada kepalanya membuat Lio menoleh ke belakang.

"...Kak Vano, janji jangan tinggalin Lio ya?"

"Sangat kekanak-kanakan." Gumamnya, namun tak ayal ia mengaitkan jari kelingkingnya.

Lio tersenyum, "Kakak udah janji, gak boleh dilanggar."

Semua adegan itu disaksikan oleh Adelard dan Lina melalui pintu yang sedikit terbuka.

"Sayang, sepertinya kita harus turun tangan sekali lagi untuk cucu kita."

Adelard mengangguk, tangannya meraih pinggang istrinya.

"Ya, tentu saja."

Selesai!

ObsessionUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum