Dua

301 37 4
                                    

13 bulan sebelumnya ...

Kalau bukan karena alasan pengabdian, sungguh Abid tak mungkin mau melakukan semua ini, merangsek di antara jejalan manusia sembari menenteng dua kardus berat. Mentari sangat terik serasa hampir membakar bumi. Sinarnya memang tak langsung mengenai aspal hitam Jalan Sasak, bangunan-bangunan ruko tinggi di sepanjang jalan kecil ini, cukup efektif menghalangi pancaran garangnya. Tapi, udaranya sama saja, tetap panas dan gerah.

Kegiatan mengulak kitab dan berbagai kebutuhan koperasi pesantren, sebenarnya bukan tugas Abid. Tapi, karena santri yang seharusnya bertugas tengah sakit, maka dengan sukarela ia menggantikan. Lagipula, ia merupakan salah satu santri senior yang bisa mengemudikan mobil dan memiliki SIM.

"Rasanya butuh mandi Es Oyen ini, Cak Mas." Gufron menghentikan langkah seraya meletakkan dua karton tanggung berisi kitab yang dibawanya. Ia lantas memundurkan peci dan menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.

"Lebay!" ujar Abid seraya menoleh sebentar, lalu kembali meneruskan langkah. Ia tersenyum sambil bergeleng-geleng.

"Woy, tungguin!" pekik Gufron. Remaja cungkring itu berlari kecil mengejar Abid. "Mbok, ya, istirahat sebentar aja."

"Kelamaan, Fron. Mending istirahat itu kalau udah selesai naruh kardus-kardus ini di mobil."

"Gak asik!" Gufron berdecak. Tapi, ia tetap mencoba menyamakan langkah dengan seniornya yang masih melangkah konstan.

Bukannya Abid tak merasa gerah atau lelah, ia juga sama lelahnya. Hanya saja, ia teringat pada tugas yang harus diselesaikan hari ini. Ia juga berkejaran dengan waktu. Sebelum Isya, santri tahun terakhir itu harus sudah sampai di pesantren. Sebab, ia harus menjadi Imam salat Isya di asrama bagian F nanti. Meskipun sebenarnya ada kawan yang siap menggantikan, tapi selagi ada kesempatan, ia tak mau absen untuk tugas itu.

Sepuluh menit kemudian, empat kardus berisi kitab telah dimasukkan dengan rapi pada minibus abu-abu yang terparkir tak jauh dari perempatan Jalan Sasak.

"Nah, kalau semua sudah selesai gini, baru kita bisa istirahat." Abid mengembuskan napas dari mulut seraya menutup pintu samping mobil, "Oke, sekarang kamu mau apa tadi?" ia menghadap pada Gufron yang kini tengah mengipasi tubuh dengan songkok hitamnya, "Diguyur es oli?" Ia pun menarik-narik bagian depan kemeja hijau pastelnya untuk mengusir gerah.

"Woh, nguawur! es oyen!" ucap Gufron seraya memonyongkan bibir.

Abid tergelak. Ia lantas merangkul pundak pemuda berkulit kecokelatan itu, kemudian sedikit menyeretnya. "Ayo kita minum es sekalian nyari pesenan kawan-kawan lain."

Keduanya berjalan menyusuri sepanjang jalan KH. Mansyur. Mereka berhenti di lapak penjual es teh dan membeli dua gelas besar. Setelah meminumnya sebentar sembari duduk di dekat both penjual es tersebut, keduanya kembali melanjutkan perjalanan.

Rencana Gufron membeli es oyen berhasil Abid gagalkan setelah adu argumentasi perihal sejatinya haus. Menurut Abid, jika memang haus, mereka hanya butuh air. Sementara es oyen yang berisi aneka buah dan berbagai isian lain, bukanlah yang sebenarnya dibutuhkan. Karena itu, segelas es teh adalah rezeki yang sudah melebihi kebutuhan. Tentu saja, Gufron kalah dalam berargumentasi dan hanya iya-iya saja.

"Nah, gitu, dong, nurut sama senior." Abid mengulum senyum sembari melirik juniornya yang tengah berjalan sambil manyun. "Lagipula, kita harus segera pulang, Fron. Titipan teman-teman masih banyak yang belum kita beli. Kasihan."

"Iya, iya, sampean pokoknya pasti menang terus."

Abid kembali menahan tawa. Keduanya bercakap-cakap disertai candaan kecil. Mereka lantas berhenti di depan penjual kebab yang tengah ramai pembeli.

"Tuh, liatin. Kalau masih sibuk sama es oyen, kapan kelarnya? Beli kebab ginian aja antrinya masyaallah."

"Iya, juga, ya, Cak Mas." Gufron menyedot es teh yang dipegangnya.

Tapi, segera Abid menepuk pelan pergelangan tangan adik kelasnya. "Mbok, ya, duduk, toh, Fron."

Gufron cengengesan dan segera berjongkok, menuruti kawannya.

Sementara Gufron sibuk dengan minumannya, Abid maju mendekati penjual yang tengah sibuk menyiapkan jualannya untuk memesan beberapa kebab dan shawarma titipan kawan-kawan mereka. Tapi, belum juga membuka mulut, ia dikejutkan oleh dua sosok gadis yang cukup familier. Abid berhasil dengan cepat mengenali salah satu dari mereka. Yang tinggi berkulit putih adalah Salma, putri pengasuh pesantren Nurul Iman, dan yang sedikit lebih pendek, baru kali ini ia melihatnya. Karenanya, ia seketika mundur selangkah dengan gestur khas santri, sedikit menunduk sebagai tanda takzim.

Sesungguhnya, Abid tahu bahwa kemungkinan besar Salma  sama sekali tak mengenalinya. Bahkan, bukan hanya itu, mungkin Gufron pun tak akan mengenal salah satu atau kedua gadis tersebut. Sebab, sekadar bisa melihat sosok putri Kiai di pesantren, bukanlah hal mudah. Abid pun hanya tahu Salma dari foto keluarga yang terpampang di ruang mutholaah Kiai Mahrus. Beberapa kali ia memang dipanggil sang Kiai untuk kepentingan mutholaah. Biasanya, ketika gurunya itu meminta bantuannya untuk menjadi pengganti mengajar saat ada udzur.

Karena keberadaan gadis yang dihormatinya, maka ia berencana memberitahukan keberadaannya pada Gufron, agar kawannya segera berdiri sebagai tanda hormat. Tapi, baru saja ia hendak mencolek punggung kawannya, kembali ia harus mengurungkannya manakala seorang pemuda bertopi datang dan menyodorkan plastik kecil berisi dua gelas es jus pada Salma.

Abid tak benar-benar bisa mendengar apa yang mereka obrolkan. Hanya saja, senyum malu-malu dan mata berbinarnya, membuat pemuda dua puluh tiga tahun itu curiga. Ditambah lagi … gestur gadis di sebelahnya sangat jelas menunjukkan ketidaknyamanan dan kecemasan.

Sejenak, Abid teringat percakapannya dengan Kiai Mahrus beberapa waktu lalu.

"Salma itu cerdas dan kreatif. Dia juga pemberani dan selalu ingin mencoba hal baru. Kadang, aku ini khawatir dia akan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dan terlalu berani. Tapi sayangnya, kecemasanku ini tak terbukti. Mungkin, hanya kekhawatiran seorang ayah yang menyayangi putrinya."

Abid mundur selangkah, berusaha bersembunyi di balik kerumunan pembeli sembari tetap mengamati. Tak terjadi hal fatal setelahnya. Lelaki bertopi dan berkaos oblong yang tampaknya mahal itu hanya berdiri di samping Salma. Itu pun ada jarak yang cukup di antara mereka, sekitar kurang lebih setengah meter. Mereka hanya tampak bercakap-cakap akrab dengan binar wajah cerah. Padahal, hari sangat terik dan gerah.

Abid bertanya-tanya dalam hati, Apakah yang tersaji di hadapannya merupakan manifestasi dari kecemasan Kiai, atau … kecemasan itu datang karena telah terjadi sesuatu semacam ini sebelumnya?

Tapi, jawaban dari pertanyaan itu sama sekali bukan hal penting kali ini. Yang jauh lebih penting adalah, apa yang akan dia lakukan setelah ini? Melapor pada Kiai yang berpeluang besar membuat beliau cemas padahal tak benar-benar terjadi hal fatal? Atau … menyimpannya saja sebagai rahasia dengan kemungkinan Salma akan benar-benar terjerumus pada hal yang mengkhawatirkan?

 Yang jauh lebih penting adalah, apa yang akan dia lakukan setelah ini? Melapor pada Kiai yang berpeluang besar membuat beliau cemas padahal tak benar-benar terjadi hal fatal? Atau … menyimpannya saja sebagai rahasia dengan kemungkinan Salma akan ...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Titik BalikWhere stories live. Discover now