Tiga Puluh Dua

223 26 15
                                    

Ya ampun ... hidup tanpa ponsel? Tak bisa Salma percaya ini akan terjadi lagi, Abid meminta ponselnya. Eh, ralat, dia bukan hanya meminta, tapi merampasnya dan melarang Salma untuk menggunakannya. Egois, sekali, bukan?!

Apa dia tak bisa kalau tak mengancam dan menghukum? Menekan Salma sedemikian rupa bahkan sampai merampas satu-satunya hiburan yang ia miliki.

Bayangkan saja, hidup berjauhan dengan keluarga, sendirian di tempat asing, dan satu-satunya pengalih perhatian hanya ponsel dan semua fiturnya. Lalu tiba-tiba, tanpa alasan jelas, semua dirampas begitu saja.

Salma yakin, tidak lama lagi, dia bisa gila kalau tak segera diselamatkan. Dan salah satu penyelamatan yang Salma tunggu sejak lama adalah ... pulang kampung.

Sudah hari ketiga lebaran. Salma harap, Abid akan mengantarnya berkunjung ke Nurul Iman. Syukur-syukur, jika bisa menginap beberapa hari dan bersilaturahmi ke sanak saudara.

Ada satu rencana yang ingin dia lakukan, Salma ingin bermain ke rumah Husna, lantas menghubungi Jeni melalui media sosialnya dan mengajaknya bertemu. Ia benar-benar butuh hiburan.

Sebulan kemarin, sepanjang Ramadhan, Salma benar-benar merasa tertekan. Harus berpuasa dalam keadaan tanpa hiburan sama sekali. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya. Untung saja, sang mertua membatalkan rencana agar Salma mengisi pengajian kitab bagi para santri sepanjang Ramadhan. Kalau tidak, sungguh dia pasti sudah benar-benar gila.

Salma turun dari mushola perempuan. Ia baru saja mengikuti jemaah salat Subuh. Ia berjalan sedikit di belakang sang mertua dengan masih memakai mukenah dan sajadah tersampir di tangan.

Di depan pintu belakang, Bu Nyai Nikmah menghentikan langkah. Ia berbalik menghadap menantunya. "Nduk Ning, hari ini kita akan bersilaturahmi ke rumah kerabat-kerabat di Lumajang. Sampean segera bersiap. Kita sarapan, lalu berangkat jam setengah tujuh, ya?"

Salma terkejut dengan pernyataan mertuanya. Tapi, ia tak bisa membantahnya. Ia hanya mengangguk dan menjawab dengan inggih lirih dan sesopan mungkin. Meskipun jujur, ada kekecewaan yang tiba-tiba mencuat di dadanya. Jika hari ini harus ke Lumajang, artinya rencana berkunjung ke Pasuruan harus ditunda lagi.

Sekesal-kesalnya Salma kali ini, ia tak mau kembali membuat sang ibu kecewa dan menegurnya lagi.

"Umma malu, Nduk, sama Bu Nyai Nikmah kalau kamu bersikap begini terus. Tolong, untuk kali ini saja, bersikaplah dewasa," nasihat Bu Nyai Saudah lebih dari sebulan lalu, saat keluarganya datang berkunjung sebelum Ramadhan.

Sebenarnya, Salma merasa malu dan kesal kala ibunya menegur. Bagaimana mungkin keluarganya tahu sikap pemberontakannya jika tak ada yang melapor? Yang pasti, pelapornya adalah Abid. Dasar cepu. Dia pasti merasa gagal. Karena itu, jurus andalannya hanya melapor agar Salma mendapat hukuman.

"Ya, sudah. Umi tunggu di ruang makan, ya?" Bu Nyai Nikmah menepuk pundak menantunya disertai senyum ramah. Lantas, berlalu ke kamarnya.

Salma mematung sesaat, mencoba menenangkan kekecewaan dan amarahnya. Sudah tiga hari pasca lebaran, tapi tak ada tanda-tanda Abid akan mengajaknya ke Pasuruan. Sepertinya, lebih baik ditanyakan secara jelas kali ini.

Salma berganti pakaian, sesuai instruksi sang mertua. Di tengah kegiatannya, Abid masuk kamar seraya berucap salam. Segera, Salma yang berdiri di depan lemari, menghampiri suaminya.

"Pas lebaran kemarin, sampean beralasan jalanan ramai dan banyak tamu. Saya nurut. Kemarin, alasannya juga banyak tamu karena ini rumah punden dan ada makam mbah di sini. Lah, sekarang, tiba-tiba ke Lumajang. Terus, kita sowan Abuya dan Ummah kapan?"

Titik BalikWhere stories live. Discover now