Tiga Puluh Satu

188 30 17
                                    

Kekhawatiran yang selama ini berusaha Abid halau dan tenangkan, malah yang nyata terjadi. Sejak sore itu, lebih dari dua minggu yang lalu, ia sudah mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa timbul sebab keputusan sepihak dan tiba-tiba dari Kiai Mahrus. Malah sebenarnya, Abid sempat sangat menyayangkan sikap mertuanya. Hanya saja, ia tak benar-bener bisa menyalahkannya. Sebab, andai kata berada di posisi yang sama, mungkin ia akan melakukan hal serupa.

Orang tua mana yang tak cemas memiliki putri seperti Salma, utamanya jika ia merupakan Kiai pemangku amanah. Sebuah pesantren.

Salma terlalu nekad dan tak mampu menahan egonya. Sikapnya pun kadang terlalu berani dan cenderung bandel. Ulah-ulahnya memang mengkhawatirkan, sebab bisa berdampak buruk terhadap nama baik keluarga, terlebih lagi pesantren.

Lebih-lebih kala itu, bagaimana ia bisa pergi dengan orang asing yang mungkin hanya dikenalnya sekilas melalui media sosial? Abid baru tahu kemudian setelah sempat beradu mulut dengan Salma beberapa hari setelah mereka tiba di Darul Muhtar. Ia mencecar istrinya dengan segala tanya dan fakta bahwa sang istri tak jujur perihal kepergian tanpa izinnya itu. Tentu saja, Abid berkata bahwa semua informasi diketahui dari Bu Nyai Farihah, bukannya Husna.

"Iya, memang saya nggak seharian di rumah Ammi Djalal," aku Salma malam itu, kala mereka berseteru sebab Salma kembali menolak seranjang dengan Abid, "Tapi, saya itu nggak macem-macem, ya. Saya cuma main sama temen perempuan. Ingat, Mas. Pe-rem-pu-an."

"Bagaimanapun juga, yang sampean lakukan jelas kesalahan. Dosa besar. Setiap mahluk bumi melaknat istri yang keluar rumah tanpa izin suami sampai ia kembali."

"Oke, oke. Laknatlah saya. Sudah kepalang basah. Apa yang saya takutkan lagi? Lagipula, setiap perbuatan saya selalu salah. Apa saya harus gila dulu sampai sampean sadar biar nggak egois dan seenaknya lagi?"

"Egois kata sampean? Egois dari mana?"

"Ah, saya capek mau ngejelasin. Lebih baik sampean introspeksi saja sebagai suami. Sampean bukan menjaga istri, tapi memenjarakan."

Rasanya Abid frustrasi menghadapi sang istri. Jalan pikiran mereka terlampau berbeda.

Dan setiap kali ia merasakan bahwa tekanan beban rumah tangganya begitu berat, bayangan akan Husna selalu hadir. Ini membuat Abid kembali harus beristigfar, menyadari kekeliruannya. Menyadari bahwa ia hanya manusia biasa yang masih sering mengeluh dan membandingkan kehidupan nyata dengan kehidupan khayali yang belum tentu benar adanya. Jikalau memang Husna lebih baik untuknya, jelas Allah pasti menjodohkan mereka. Tapi buktinya, jodohnya adalah Salma. Inilah pemberian Allah yang harus ia terima dengan sebenar-benar penerimaan.

Sudah hampir tiga minggu tinggal di Darul Muhtar, tapi sikap Salma tak pernah berubah, malah semakin menjadi-jadi. Tak hanya terhadap Abid, bahkan terhadap kedua mertuanya pun terkadang sampai membuat Abid malu. Salma sering terang-terangan menampilkan wajah masam di depan kedua orangtua Abid.

Seperti kali ini, saat seharusnya bertemu banyak orang pada acara Haflatul Imtihan, Salma malah berulah.

"Saya boleh, kan, nggak keluar? Saya malas. Lagipula, saya bukan termasuk dewan ustadzat." Salma bersedekap menghadap Abid yang tengah berganti pakaian dengan koko cokelat berbahan drill yang lebih mirip jas. Koko seragam dewan guru Darul Muhtar.

"Belum, bukannya bukan. Tahun ajaran yang akan datang, sampean jelas akan mendapat bagian mengajar di sini. Bukan hanya tahun depan, bulan depan, saat ngaji pasanan, sampean pasti sudah ikut mengurus pengajian juga," ujar Abid lembut.

Ia berusaha agar kali ini tak terjadi pertengkaran lagi. Sebab, di luar sudah ramai para undangan dan wali santri serta alumni. Terlebih lagi, sejak pagi Salma menolak untuk keluar kamar. Abid sampai harus membuat alasan mengada-ada saat Bu Nyai Nikmah menanyakan perihal istrinya.

"Ah, saya ragu." Salma mencebik dan mengangkat kedua bahu. Ia menjatuhkan diri pada ranjang, tidur terlentang seraya mengutak-atik ponsel. Pun begitu, ia tetap bersikukuh untuk tak berganti pakaian, masih dengan daster arab berlengan pendek dan tak berhijab. Rambutnya diikat sembarangan dan cenderung acak-acakan.

Abid menghela napas dalam seraya memejam. Ia telah selesai memasang semua kancing bajunya. Lantas, duduk di samping Salma. "Keluar sebentar saja, ya? Sampai selesai acara para santri. Nanti acara inti, sampean masuk nggak apa-apa. Demi Umi."

Salma melirik sebentar, lantas mengubah posisi, meringkuk membelakangi Abid. "Bisa nggak, sekali aja jangan paksa-paksa saya?!" Ia masih pura-pura sibuk dengan ponselnya. Abid bisa melihat bahwa kali ini Salma membuka aplikasi menonton.

Abid kembali memejam, menahan amarah yang mencuat tiba-tiba di hatinya. Jangan bersitegang untuk kali ini.

"Baik," ujar Abid seraya menghembuskan napas dan beranjak, "saya keluar dulu. Acara para santri akan segera dimulai. Penceramah juga mungkin akan segera datang. Saya mau membantu Abi menyambut."

Salma hanya menoleh sekilas dengan tatapan datar dan terkesan malas. Ia beringsut, membenahi posisi dengan mendaratkan kepala pada bantal.

Abid keluar kamar dengan perasaan tak menentu. Tak bisakah Salma bersikap baik, minimal kali ini saja?

Di depan kamar, ia berpapasan dengan Bu Nyai Nikmah. Membuatnya tersentak sebab seketika hadir ketidaknyamanan dan malu akan sikap Salma.

"Istrimu ... masih belum mau keluar?" tanya ibu Abid lembut. Ia mendekati putranya, lalu mendaratkan tangan pada lengan Abid.

Dengan senyum dipaksakan dan perasaan bersalah, Abid menggeleng pelan. "Tidak mau, Umi."

"Ndak apa-apa," Bu Nyai Nikmah menepuk sayang pundak putranya, "bersabarlah dengan sikap istrimu. Salah satu tanda kewalian seseorang adalah diuji dengan ahlak istri yang buruk."

Abid tersentak. Benar memang dia pernah mendengar hal semacam itu, tapi ia tak berani untuk merasa bahwa ia adalah seorang waliyullah. "Ah, Umi. Masak begini saja sudah jadi wali."

"Bukan itu maksud Umi. Tapi, jika kamu mampu bersabar, tentu ada hikmah besar di balik ini. Semua akan kembali kepadamu dalam bentuk kebaikan yang setara, entah bagaimana caranya. Lagipula, diuji dengan sikap istri semacam ini, bisa membentuk pribadimu menjadi lebih dewasa dan bijaksana."

"Inggih," jawab Abid lembut, berusaha menenangkan ibunya. Meskipun jelas, selaksa gundah masih membebaninya.

"Bersabarlah," lanjut Bu Nyai Nikmah lagi, "Sayyidina Umar saja tetap bersabar dan lembut terhadap istrinya. Padahal, beliau adalah sahabat Nabi yang paling tegas dan ditakuti bahkan oleh bangsa jin."

Abid mengiakan nasihat sang Ibu. Penjelasan terahir Bu Nyai Nikmah, bak guyuran air sejuk di hatinya. Bukan hanya bijaksana, tapi nasihat itu mampu menjadi penenang hati yang gemuruh dan penyejuk jiwanya yang sempat tersulut amarah.

Abid mengikuti acara haflatul imtihan sebagaimana saudara-saudaranya serta dewan guru yang lain. Ia menempati kursi di mana dewan keluarga duduk. Ia memang bukan dewan pengajar di Darul Muhtar, bahkan tugasnya di Nurul Iman pun ditinggal begitu saja demi mematuhi titah sang guru. Tapi, sebagai putra pengasuh, ia tetap merasa bertanggung jawab untuk membantu orangtuanya.

Saat pertengahan acara, terasa ponselnya berdengung panjang. Segera, Abid merogoh saku untuk memeriksanya. Ia tersentak dan seketika beranjak manakala terpampang nama sang mertua pada layar. Cepat-cepat Abid mencari tempat yang lebih sepi untuk menerima panggilan itu.

Abid menjawab salam sang ayah mertua. Mereka berbasa-basi sebentar. Tentu saja, Kiai Mahrus menanyakan kabar Salma yang dijawab Abid dengan baik-baik saja.

"... tapi Nak Mas, barusan Umma kamu mendapat kabar dari Bu Nyai Nikmah. Katanya, seharian ini Salma ndak mau keluar kamar. Benar?!"

Abid tak pernah bisa berbohong pada ayah mertuanya. Ia membenarkan pertanyaan itu.

Kiai Mahrus berdecak. "Sudah tiga minggu, tapi Salma masih dengan sikapnya yang keras kepala. Memalukan sekali. Dia ndak menghormati kedua mertuanya. Nanti jika acara selesai, segera sita HP-nya dan kirim ke sini!"

Sekali lagi, Abid tak bisa tak tersentak kaget. Kembali menghukum Salma dengan keras? Apakah benar ini solusinya?

Titik BalikWhere stories live. Discover now