Lima

174 28 6
                                    

Suasana alun-alun kota sudah mulai ramai ketika mereka sampai. Salma memeriksa penunjuk waktu pada ponselnya, jam sembilan pagi lewat beberapa menit. Pantas saja sudah banyak toko buka.

Setelah terparkir sempurna meskipun mesin belum dimatikan, Salma dan Husna bersiap turun dari mobil. Mereka memasukkan ponsel dan menyampirkan tas selempang masing-masing ke pundak. Tampak Abid cepat-cepat mematikan mesin dan segera keluar dari mobil. Ia langsung berjalan cepat, setengah berlari, ke arah pintu penumpang di mana Salma berada. Sepertinya, dia berencana membukakan pintu. Sayangnya, Salma sudah menurunkan sebelah kakinya. Sementara itu, Husna pun sudah turun lewat pintu yang lain.

"Sampean nunggu di sini saja, ya? Atau kalau nggak, bisa ke masjid sana. Ngaji dulu di makam Kiai Hamid juga bisa." Salma berisyarat pada masjid yang ada sebelah barat alun-alun Pasuruan.

"Tapi, Ning, Yai memerintahkan agar saya jagain njenengan." Abid mundur selangkah, memberi jalan untuk Salma. 

Husna sudah berdiri di samping kakak sepupunya dengan posisi menunduk. 

"Duh, dijagain dari apa? Saya bukan bayi, kok. Lagian, kami cuma mau beli baju, loh. Ke toko yang itu," Salma menunjuk pada toko pakaian tak jauh dari Masjid.

Pandangan Abid mengikuti arah tangan Salma. 

"Kalau nggak, ya yang itu," Salma memutar tubuh dan pada menunjuk toko pakaian lain yang lebih besar, "atau yang itu," ia kembali memutar tubuh kembali menunjuk toko yang lain.

Abid hanya mengangguk-angguk dan menjawab dengan "inggih" lirih. 

"Nah, kalau masih nggak nemu, bisa-bisa ke sana, bahkan di sananya lagi," Salma sedikit melongok seraya menunjuk jauh ke jalan di Selatan alun-alun, "Pokoknya rata! Sampean nanti capek. Belanja pakaian itu ribet. Biar kami aja, sampean ga bakal sanggup."

"Tapi, Ni—"

"Udah, ya … nanti saya hubungi. Itu ponsel dari Abuya, kan?" Salma berbalik setelah menunjuk pada ponsel di saku bagian dada Abid. Ia pun menggandeng Husna dan berjalan sedikit cepat, tanpa mempedulikan apakah Abid menjawab pertanyaan terakhirnya atau tidak. 

Sudah menjadi kebiasaan Kiai Mahrus untuk memberikan ponsel sementara pada santri yang kadang dimintai tolong untuk menggantikan Ismail. Itu bertujuan khusus untuk kepentingan keluarganya.

"Kasihan, loh, Mbak Ning," Husna menatap Salma dengan tatapan cemas. "dia pasti …" ia menahan kalimatnya karena Salma membalas tatapannya dengan alis terangkat, "... kebingungan," lanjutnya lirih seraya menunduk.

Aih, Husna yang lugu dan pemalu. Dibalas dengan tatapan saja bisa membuat volume suaranya otomatis mengecil.

Salma tertawa kecil. "Halah … nggak perlu dipikirin. Coba liatin, Dik, dia ngikutin apa nggak?" bisik Salma seraya mendekatkan kepala ke telinga adik sepupunya.

Husna menoleh seraya terus berjalan. Dia kembali menatap Salma seraya menggeleng pelan.  

Lagi, Salma mengulum senyum melihat reaksi adik sepupunya. Sepertinya, dia tidak tega terhadap pemuda pengganti Ismail itu.

"Cuekin aja …" Salma menepuk lengan Husna, berusaha menghilangkan kecemasan adik sepupunya, "nggak akan apa-apa. Dia cowok, kan?"

Husna kembali menatap Salma seraya tersenyum. 

"Tapi …" lanjut Salma lagi, "nanti kalau ternyata dia maksa ngikutin, awas aja. Beneran perlu dikerjain." 

Sontak, kalimat terakhir Salma berhasil kembali memunculkan raut cemas di wajah Husna. Membuat Salma kembali mengulum senyum melihat reaksi saudarinya.

Keduanya menuju salah satu toko pakaian paling besar yang tak jauh dari tempat mobil terparkir. Salma langsung menuju tempat pakaian muslim dewasa. Ia mencoba sedikit awas terhadap kemungkinan kedatangan Abid. Dan benar saja, selang beberapa menit kemudian, tampak Abid masuk toko. 

Titik BalikWhere stories live. Discover now