Tujuh Belas

178 34 1
                                    

Malam telah larut. Hanya terdengar suara jangkrik berlomba dengan desau angin sesekali. Bahkan, suara riuh para santri kecil yang biasanya ramai, sudah senyap, berganti dengan dengkuran-dengkuran lirih dan tenang. Di tengah damai dan heningnya malam, dalam kamar yang dibiarkan gelap, Husna meringkuk sendiri di ranjang. Terisak, dengan air mata berderai. 

Gadis yang tengah patah itu kini berkalang resah dan duka. Di pelukannya, gamis cokelat pemberian Abid lebih dari setengah tahun lalu. Dadanya sesak, kepalanya berat terasa. Mengapa cinta harus sesakit ini? 

Apakah … ini hukuman karena Husna telah ingkar janji? Dulu, ia berjanji hanya akan mengagumi Abid. Perangainya, kebaikannya, tanggung jawabnya, semuanya. Tidak akan lebih. Tapi ternyata, hatinya telah berkhianat tanpa ia tahu sejak kapan. Husna telah jatuh hati terlampau dalam. Hingga, saat berita pernikahan itu sampai di telinganya, ia tak mampu berlama-lama menahan sakit. Ambruk seketika. Ya, dia selemah itu.

Seraya memejam, Husna mencengkeram erat gamis itu dan membenamkan wajah. Ia berharap, aroma bunga tanjung, yang masih jelas bisa ia hidu, akan mengobati laranya. Suara Abid yang masih terngiang, akan menjadi penawar dukanya. Tapi, ia keliru. Semakin teringat, semakin dalam ia tersiksa.

"Yang ikhlas, ya, Mbak Ning …."

Omong kosong, rutuk Husna dalam hati. Ia merasa telah menjadi manusia yang teramat munafik. Di hadapan Salma, ia mampu berpura-pura baik-baik saja. Ia tersenyum dan tampil bak peri penolong. Gadis lugu lembut nan ikhlas. 

Dusta, semua dusta. Husna sama sekali tak ikhlas. Ia bahkan ingin menumpahkan semua rasa sakitnya pada Salma. Sebenarnya ia ingin Salma mendapat sakit melebihi sakitnya. Ia juga tak mampu memungkiri sebuah harapan semu yang terus menggema di benaknya, "Tak bisakah pernikahan itu batal? Berikan abid padaku." Tapi, ia malah bersembunyi di balik keluguan dan keikhlasan palsu. Menampilkan sosok peri baik hati.

Husna masih dengan kesedihannya. Hingga, akhirnya terlelap dengan masih memanggul duka dan memeluk lara.

***

Lara masih menggelayut erat di hati Husna. Ia berdiri menghadap cermin, memeriksa penampilannya. Sisa sembab semalam sudah banyak memudar, tersamarkan oleh pulasan bedak. Dimaklumi karena sakit yang kembali menyerang beberapa hari lalu. Gamis ceruti sage green dengan aksen bordir bunga keemasan, seragam keluarga untuk pernikahan Salma dan … Abid. 

Perih rasanya setiap kali nama itu kembali disebut. Bak bibit bunga yang tanpa disadari tumbuh dan berkembang cepat, tapi terpaksa harus tercerabut seketika. 

"Husna …" panggilan Bu Nyai Farihah membuatnya menoleh ke arah datangnya suara. Ibunya membuka pintu kayu coklat tua dan melongok ke dalam kamar, "Umi tunggu di mobil. Kamu ndak lama, kan?"

Gelengan cepat disertai senyum manis untuk menyembunyikan rasa yang sebenarnya. "Inggih. Kulo segera menyusul. Tinggal pasang tuspin."

Bu Nyai Farihah mengangguk, lantas menutup pintu. Sementara Husna, sekali lagi menghela napas dalam. Berharap lara pergi menjauh.

Ia memejam, perutnya begah dan terasa panas hingga tenggorokan. Ada ngilu di sekitar ulu hatinya. Cepat-cepat, Husna mencari obat penetral asam lambung yang didapatnya dari dokter. Kemudian, segera meminumnya. 

Untuk kali ini, mohon berbaik hatilah, wahai takdir.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah Jalan Daendels menuju Pasuruan. Kiai Djalal duduk di kursi penumpang depan, di sebelah sopir. Sedangkan Husna, di samping sang ibu, pada kursi penumpang tengah. Seorang santri perempuan berumur sekitar empat belas tahun, duduk pada kursi paling belakang, bersama dua adik kembar Husna yang masih berumur sepuluh tahun, Zahwa dan Zahra. Pesantren asuhan orangtua Husna merupakan pesantren khusus anak-anak. Santri paling besar hanya berumur sekitar empat hingga lima belas tahun. 

"Salma itu … dulu lahirnya pas Umi baru hamil kamu. Sekitar dua atau tiga bulan. Jarak umur kalian ndak beda jauh." Bu Nyai Farihah mendaratkan tangan pada punggung tangan Husna yang berada di pangkuan. Ia menatap sang putri dengan tatapan hangat dan penuh kasih.

"Iya. Ndak kerasa, ya, Mi, Salma sudah menikah. Padahal dulu, dia itu sering menginap di rumah karena nangis ingin terus main sama Husna."

"Benar. Waktu berjalan cepat. Itu artinya … jika ada yang melamar Husna, kita juga harus siap-siap, ya, Bi?" Bu Nyai Farihah tertawa kecil.

Sementara itu Husna tersentak mendengar selorohan ibunya. Ia tahu, itu hanyalah candaan. Tapi, sama sekali tidak lucu, bahkan menyakitkan.

Kiai Djalal melongok ke belakang. Beliau menggeleng pelan seraya tersenyum menatap Husna. Lantas, kembali ke posisi semula. "Tentu saja, Mi. Bukakah Husna itu anak perempuan tertua?"

Keduanya tergelak dalam candaan. Husna hanya tersenyum hambar. Ulu hatinya kembali ngilu. Apakah obat tadi akhirnya akan menyerah?

Kesal yang Husna rasa akibat candaan kedua orangtuanya kini berganti gundah. Mobil telah memasuki area parkir undangan. Suasana meriahnya pesta, begitu kental terasa. Alunan musik rancak, lampu berwarna-warni, mobil-mobil tamu undangan yang terparkir dan berjajar rapi, semua mengesankan bahwa malam ini adalah malam istimewa bagi Salma dan Abid.

Ngilu!

Dada Husna seketika terasa sesak dan kepalanya berat. Ia memejam dan menghela napas dalam. Lantas, membuka pintu mobil seraya mengembuskan napas panjang. 

Untuk kali ini, mohon berbaik hatilah, wahai takdir.

Kedua kakak lelaki Husna dan keluarga mereka sudah sampai lebih dulu. Mereka menunggu di tempat parkir. Mereka melangkah masuk bersama ke tempat pesta dengan Kiai Djalal berada di depan. Husna berjalan seraya menggandeng sang ibu, di belakang Kiai Djalal. Seorang santri putra menyambut dan mempersilakan mereka masuk. Mereka melewati lorong putih berhiaskan mawar dan sedap malam yang semerbak.

Tampak Kiai Mahrus menyambut mereka dengan wajah semringah. Ia menyalami sang adik lalu memeluknya hangat. Mereka beramah-tamah sesaat, lalu Kiai Mahrus mempersilakan agar rombongan keluarga Kiai Djalal menuju pelaminan untuk berfoto bersama.

Obat penetral asam lambung itu seolah-olah berteriak dari dalam perut Husna, "Aku menyerah, aku menyerah." 

Ulu hatinya kembali nyeri. Kepalanya pusing. Tapi, ia tetap berusaha tegak, berjalan dan menyembunyikan yang dirasa. 

Untuk kali ini, mohon berbaik hatilah, wahai takdir.

Satu langkah, lantas pelaminan megah dengan warna dominan putih dihiasi bunga dan lampu elegan nan mewah, tampak beberapa meter di depan mereka. Dada Husna terasa semakin sesak. 

Untuk kali ini, mohon berbaik hatilah, wahai takdir.

Husna menunduk dalam. Ia tak ingin melihat Abid dalam balutan jaz pengantinnya. Ia pun ingin menghilangkan sosok Salma yang duduk begitu dekat … tidak dia memang ada di pelukan Abid. Tersenyum cantik dalam busana pengantin peach mewah. 

Mengapa bukan Husna?

Dua meter, empat meter, Husna masih bertahan. Ia pun masih bisa menapaki empat anak tangga kecil dan naik ke pelaminan. Ia masih sempat menyapa Salma dari belakang punggung Bu Nyai Farihah. Tapi, seketika semua terasa semakin berputar-putar. Obat itu akhirnya menyerah.  Semua akhirnya berubah gelap. 

Husna telah menghindar dari sosok Abid. Dia sama sekali tak memandangnya, bahkan dari kejauhan. Tapi, mengapa sosok itu yang pertama muncul dari balik kegelapan yang menyelimuti. Mengapa dia yang datang dan semakin mendekat. Lantas berbisik, "Bangunlah, Sayang. Aku mencintaimu."

Titik BalikOnde histórias criam vida. Descubra agora