Tiga

217 32 4
                                    

Suara ucapan salam lirih, menghentikan kalimat Abid seketika. Ia yang tengah menerangkan pelajaran Nahwu pada para calon santri baru penghuni asrama bagian F, kontan mengalihkan pandangan ke arah asal suara.

"Waalaikumsalam …" Abid beranjak dan berjalan melintasi ruangan melewati para calon santri baru yang kesemuanya bersila di lantai. Ia menuju remaja yang tengah berdiri di depan pintu kamar santri yang dijadikan tempat belajar bersama kali ini.

"Mas Abid dipanggil Abah Yai kalau sudah selesai ngajar," ujar pemuda itu dengan suara lembut dan penuh takzim.

"Oh, inggih. Sekitar sepuluh menit lagi insyaallah selesai."

"Inggih, Mas. Ditunggu di ruang mutholaah seperti biasa."

Abid mengangguk dan beramah-tamah sebentar sebelum kemudian pemuda itu pamit dan ia meneruskan kegiatan mengajarnya.

Sebagai santri tahun terakhir yang hanya menunggu ujian kelulusan, Abid memiliki kegiatan baru setiap pagi yaitu menemani para calon santri baru belajar membaca dan menulis pegon. Selain itu, mereka juga belajar ilmu dasar tata bahasa Arab yaitu Nahwu dan Shorof, serta sedikit Fiqih dasar.

Kegiatan belajar semacam itu baru diadakan sekitar tiga atau empat tahun terakhir, sejak semakin banyak calon wali santri yang menitipkan putra mereka di pesantren beberapa bulan sebelum tahun ajaran baru dimulai. Alasannya sederhana, agar anak-anak itu bisa lebih cepat beradaptasi ketika resmi masuk pesantren nanti, serta memiliki kegiatan bermanfaat. Pasalnya, jeda beberapa bulan menunggu tahun ajaran baru pesantren, acap kali membuat calon santri tak memiliki kegiatan berarti di rumah. Maklum saja, dimulainya tahun ajaran baru pesantren salaf seperti Nurul Iman, berbeda dengan tahun ajaran baru sekolah berkurikulum negara.

Sekitar tak sampai lima belas menit kemudian, Abid telah berada di depan pintu depan kediaman Kiai yang biasa disebut ndalem. Ia mengucap salam seraya mengetuk pintu pelan. Dan tak lama kemudian, seorang pemuda bersarung membuka pintu dan mempersilakannya masuk.

"Abah Yai ada di ruang mutholaah." Santri itu menunjuk ke arah dalam ndalem dengan jempolnya.

Abid mengangguk dan melangkah ke arah yang ditunjukkan sang abdi dalem. Ia lantas berhenti di depan pintu kayu coklat dua pintu dengan aksen ukiran antik. Ia hendak mengetuk pintu kayu itu, tapi terhenti manakala mendengar suara perempuan tengah berbicara dari arah dalam ndalem.

Entah karena merasa dipanggil atau apa, Abid refleks menoleh dan mencoba menengok ke arah datangnya suara. Ah, sangat konyol, tentu saja ia tak akan mampu melihat siapa yang baru saja berbicara. Ruangan di mana ia berdiri, dibatasi gorden krem keemasan yang menutupi pintu kayu di baliknya. Sekat ruangan itu menjadi pembatas antara ruang privasi keluarga dan ruang yang terkadang bisa dimasuki tamu khusus sang Kiai.

Lagipula, untuk apa juga dia mencari tahu? Pun begitu, jelas asal suara itu bukan tepat berada di ruang sebelah. Sebab, nyatanya Abid tak mampu mendengar jelas apa yang dibicarakan. Mungkin saja berasal dari ruang lain. Pasalnya, anggota keluarga perempuan sangat menjaga untuk tidak mendekati ruang mutholaah Kiai. Hal ini demi menjaga agar tak terjadi ikhtilat yang tak diperlukan antara lelaki dan perempuan non mahram.

Menyadari kekonyolannya, Abid menggeleng sambil tersenyum sendiri. Ia lantas mengetuk pintu dan berucap salam. Baru setelah terdengar suara Kiai Mahrus mempersilakannya masuk, Abid membuka pintu dan melangkah masuk.

"Nak Mas," Kiai telah berdiri menyambut santrinya, "silakan duduk!" beliau berisyarat pada salah satu kursi kayu beralaskan rotan antik di ruangan itu.

Abid segera duduk perlahan. Ia mulai terbiasa menempati kursi itu meskipun dulu pada awalnya merasa sedikit kikuk. Maklum saja, biasanya santri menjaga agar tidak benar-benar sejajar dengan sang guru, sebagai tanda takzim.

Ya, pertama kali Abid dipanggil Kiai Mahrus, ia memilih duduk di lantai. Tapi, berkali-kali Kiai memerintahkan agar Abid duduk saja pada kursi. Dan karena alasan patuh serta tak ingin merepotkan Kiai, Abid memilih duduk pada kursi.

Setelah berbasa-basi sebentar, Kiai berdeham dan menegakkan punggung. "Ehm … aku minta tolong bisa, Nak Mas?"

"Monggo, Yai," jawab Abid dengan gestur takzim, sedikit menunduk dan merapatkan tubuh.

"Ini … ndak ada hubungannya sama pesantren. Ini masalah pribadiku." Kiai menjeda kalimatnya beberapa saat. Dan kalimat Kiai ini, membuat Abid berusaha menebak-nebak, pertolongan macam apa gerangan yang diinginkan sang Kiai.

Abid memang sangat menghormati gurunya ini. Selain karena memang berusaha mengamalkan pendidikan akhlak yang telah didapat sejak di rumah dulu, ia juga begitu kagum dengan ketawadhuan sang Kiai. Pasalnya, Kiai Mahrus tetap memanggil Abid dengan sebutan Nak Mas.

Sebutan Mas yang disematkan di depan nama Abid bukanlah sebutan Mas pada umumnya yang berarti Abang atau Kakak lelaki dalam Bahasa Jawa. Tapi, sebutan ini merupakan gelar bagi putra Kiai pada sebagian pesantren di Jawa Timur, selain sebutan Gus, Non, atau Bindereh. Bahkan, sebutan Mas ini bukan hanya untuk lelaki, tak jarang juga disematkan pada putri Kiai.

"Aku mempercayai Nak Mas karena tahu betul sama Kiai Muhib. Abahmu sangat dekat denganku ketika menimba ilmu di sini," ujar Kiai lagi menjelaskan kembali cerita yang sejatinya telah Abid ketahui dan dengar berulang kali, persahabatan ayahnya dan Kiai Mahrus.

Abid tetap diam dan mendengarkan dengan saksama. Sesekali ia mengiakan dengan suara lirih.

"Aku minta tolong," ulang Kiai sekali lagi, "antarkan Salma ke kota besok …"

Mendengar kalimat terakhir sang Kiai, membuat Abid seketika terkejut dan refleks mendongak. Hanya saja, ia segera tersadar lantas kembali menunduk.

"... aku tahu kamu bukan supir. Ada Ismail yang biasanya mengantar. Hanya saja, ada kecurigaan dalam hatiku terhadap tingkah Salma di luar rumah. Dan … aku ndak bisa mempercayai Ismail mampu menghadapinya. Ismail itu sudah setengah baya. Salma gampang mengibuli dia. Makanya, aku minta tolong pada Nak Mas soal ini." Satu embusan napas panjang setelah helaan napas yang cukup dalam.

"Tapi … kulo apa mampu Yai?" tanya Abid lirih.

"Insyaallah mampu, Nak Mas. Aku hanya minta tolong, perhatikan gerak-gerik Salma di luar. Ikuti ke mana pun dia pergi. Jika dia beralasan ini dan itu, aku minta tolong, jangan dituruti. Usahakan dia selalu ada di dalam pengawasanmu."

Permintaan berat, tapi Abid tak mampu menolak. Terlebih lagi, ia kembali teringat kejadian beberapa minggu lalu di Surabaya. Meskipun tak jelas kejadiannya, tapi ia tak bisa memungkiri ada secuil kecurigaan juga di hatinya.

"Tapi … apa kulo hanya berdua dengan Ning Salma? Bukankah itu—"

"Tidak, tentu tidak," tukas Kiai, "aku juga paham kecemasanmu. Ada Husna yang menemani Salma."

Abid mengangguk dan menjawab lirih. Ia menebak-nebak bahwa Husna adalah nama gadis yang bersama Salma kala itu.

"Sebenarnya, aku ingin kamu mengajak satu atau dua orang kawan lagi. Tapi … aku berpikir kembali bahwa dalam hal Salma ini, semakin sedikit yang tahu, akan semakin baik. Jadi … cukup Nak Mas saja yang menemani."

Meskipun ada secuil kecemasan di hati Abid—perihal kemampuannya menjaga Salma, tapi ia meneguhkan hati dan akhirnya mau menerima permintaan sang Kiai. Tugas yang tak mudah, tapi tak mungkin ditolak.

 Tugas yang tak mudah, tapi tak mungkin ditolak

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.
Titik BalikМесто, где живут истории. Откройте их для себя