Dua Puluh Tiga

212 32 6
                                    

Bagaimana Abid tak terkejut ketika ia mendapati Salma keluar dari kamar mandi dengan gelas kosong di tangan. Gelas itu yang biasa dipakai untuk jamu setiap malam selama lima hari terakhir.

"Neng? Itu ...?!" Di belakang pintu, Abid masih mematung seraya menatap Salma heran.

Salma tampak kebingungan. Sejenak tadi ia sepertinya berusaha menyembunyikan gelas itu segera. "A-anu," jawabnya terbata, "Ehm ... ini ... kemasukan cicak," lanjutnya cepat pada kalimat terakhir, "Iya, cicak," ia mengangguk-angguk, "jadi saya buang."

Sebenarnya Abid tak percaya. Tapi, apa yang harus dicurigai dari perbuatan membuang jamu? Baik meminum atau tak meminumnya tak akan jadi masalah.

Karenanya, Abid hanya mengangguk-angguk, lalu meneruskan langkah. "Ya sudah. Bilang saja sama Umma kalau kemasukan cicak," ujar Abid seraya membuka lemari pakaian, "biar diganti yang baru."

"Jangan, jangan," tukas Salma seraya melangkah ke nakas di mana bertengger gelas kecil berisi penawar, "untuk malam ini libur aja. Masak mau minum jamu terus? Pait dan nggak enak." Kini Salma sudah membawa nampan berisi jamu itu dan melangkah ke luar kamar.

Meskipun merasa heran, tapi Abid berusaha menepis perasaan itu. Ia tak bisa menemukan alasan tepat untuk keheranannya. Tidak ada masalah.

Abid pun berganti pakaian dengan kaos panjang hitam yang lebih santai. Malam ini, ia berencana muthalaah di kamar saja. Ia akan menyelesaikan soal ujian yang harus ia kumpulkan minggu depan. Selain itu, ia berharap bisa menemani istrinya belajar untuk menghadapi ujian kelulusan bulan depan.

Selain itu, sering-sering bersama Salma bisa semakin memupuk mawaddah di antara mereka. Witing tresno jalaran soko kulino, kata ungkapan Jawa. Cinta itu bisa tumbuh sebab kebiasaan.

Ketika Abid tengah meletakkan kitab pada meja belajar, Salma membuka pintu. "Kata Umma ... nggak apa-apa, kok, nggak perlu jamu lagi."

Abid hanya menganguk dan ber-oh pendek. Ia duduk pada kursi menghadap meja belajar. "Kita belajar bareng, ya, Ning?" ujar Abid kemudian tanpa melihat ke arah Salma. Ia fokus pada kitab dan alat tulis di hadapannya.

"Eh? Apa?!"

"Belajar bareng. Saya temani belajarnya. Bukannya bulan depan sudah mulai ujian?" Abid memutar tubuh bagian atas, berusaha menghadap pada Salma yang berdiri di depan lemari kitab.

"S-saya mau belajar di balkon," tatapan mata Salma tampak tak tenang, "Soalnya, kan, ehm ... biasanya gitu. Sambil nemenin Umma nonton tivi."  Ia mengakhiri kalimatnya dengan menarik kedua ujung bibir membentuk garis datar.

Sekali lagi, Abid hanya ber-oh pendek. Ia lantas mengedikkan bahu dan kembali fokus pada kertas dan kitab di hadapannya.

Jujur saja, ada secuil kekecewaan merambati hatinya. Pasalnya, beberapa hari ini Abid merasa mulai nyaman dengan Salma. Meskipun terkadang pikirannya perihal Husna sesekali hadir, tapi dengan mudah berhasil ia netralkan.

Ya, sikap Salma yang sangat berbeda, menghadirkan selaksa harap di hatinya. Mengaburkan cemas dan rasa bersalah terhadap Husna. Dan pada akhirnya, hanya ada untaian doa yang dilangitkan. Semoga Husna bisa menemukan bahagianya segera.

Tak sampai semenit kemudian, terdengar panggilan lirih Salma. Membuat Abid seketika menoleh dan mendapati istrinya berdiri di sampingnya. "Ya?"

"Ehm ... apa saya boleh minta satu permintaan lagi?" tanya Salma ragu-ragu.

Abid mengangguk. Ia lalu meletakkan pena dan memutar tubuhnya menghadap Salma.

"Bisa nggak, kalau kita nggak berhubungan dulu?"

Abid tersentak dengan pertanyaan istrinya. Ia mengernyit dan menatap Salma heran. "Apakah ... ada masalah?"

Salma menggeleng pelan. "Jujur saja, rasanya masih sakit dan mengganggu."

Sontak, Abid kembali terkejut dan beranjak. "Apa ... saya bikin sampean nggak nyaman dan kesakitan, Ning?"

Salma membelalak, ia sedikit mendongak menatap Abid beberapa saat, lalu kembali menunduk. "Iya. Saya nggak nyaman. Empat hari ini sampean rasanya terlalu memaksa dan kasar. Sakitnya bisa sampai siang bahkan seharian. Sangat mengganggu," ujarnya lirih.

Ada sekelumit rasa bersalah mengusik hati Abid. Ia seketika mendaratkan tangan pada kedua pundak istrinya. Sedikit menunduk, ia mencoba meraih wajah Salma. "Maafkan saya, ya?"

Perlahan, Salma mendongak. Ia lantas mengangguk pelan. "Bisakah setelah ini jangan memaksa? Kita lakukan pelan agar chemistry di antara kita menguat."

Abid mengangguk mantap. Meskipun ada selaksa cemas di hati perihal kemampuannya menepati janji. Pasalnya, ia acap kali tak mampu menahan tarikan hasrat setiap kali datang.

Salma tersenyum. "Ya sudah. Saya belajar di balkon."

Abid mengangguk dan membiarkan istrinya berlalu keluar kamar.

Sepeninggal Salma, Abid kembali sibuk dengan tugas-tugasnya. Ia begitu larut dengan kegiatannya membuat soal ujian. Hingga tanpa terasa malam telah larut. Ia mengecek penunjuk waktu pada ponsel. Jam setengah sebelas malam. Salma belum juga turun.

Sejenak, Abid kembali teringat permintaan mertuanya tempo hari perihal momongan. Ia seketika menghela napas dalam. Ini memang tugasnya.

Abid merapikan kertas dan alat tulisnya dari meja. Lantas, mengembalikannya ke lemari. Ia akan menjemput Salma di lantai dua. Tapi, sejenak ia merasa aneh, tarikan hasrat kuat itu tak lagi seperti malam-malam kemarin. Apa ini karena permintaan Salma tadi?

***

Hampir seminggu berlalu. Pada akhirnya Abid bisa dengan mudah menuruti keinginan Salma. Ia bisa melewati malam tanpa harus melakukan hubungan intim dengan istrinya. Meskipun sebenarnya, ada perasaan bersalah menelusup hatinya jika mengingat keinginan sang mertua. Tapi, toh, dia sudah berikhtiar sebelumnya. Siapa tahu pada salah satunya Allah telah memberi rezeki itu.

Dan uniknya lagi, Bu Nyai Saudah juga menghentikan kiriman jamu. Mungkin, Salma memang benar, Abid tak membutuhkannya.

Abid tengah menikmati makan siangnya bersama Salma. Ayah dan Ibu mertuanya sudah makan siang terlebih dahulu, hampir setengah jam yang lalu, saat Abid dan Salma masih di kelas.

Tak seperti sebelumnya, seminggu ini Salma lebih banyak sibuk dengan ponselnya. Bahkan, saat makan pun rasanya ia tak bisa untuk tak waspada terhadap setiap notifikasi yang masuk. Setiap kali ponselnya bergetar, ia pasti langsung memeriksanya. Bahkan, ketika hendak menyuapkan nasi ke mulut, ia pasti menghentikannya. Seolah-olah menjawab chat jauh lebih penting baginya.

"Coba makan yang tenang dulu, Ning," ujar Abid seraya menggeleng menatap istrinya.

Salma hanya melirik sekilas, lalu mengembuskan napas pendek.

Abid kembali menggeleng pelan, lalu menyuapkan nasi ke mulutnya. Salma sangat melekat pada ponselnya, persis seperti dulu. Bahkan, akhir-akhir ini ia juga sering berswafoto dalam berbagai pose, membuatnya risih. Ia tak mau istrinya berlebihan bermain medsos dengan mengunggah foto-foto wajahnya. Hanya saja, setiap kali ditegur tentang foto, Salma selalu menjawab bahwa itu hanya untuk koleksi pribadi. Dan Abid berusaha percaya. Sebab, ia tak memiliki bukti konkrit bahwa Salma mengunggahnya di media sosial.

Abid masih dengan kekhawatirannya saat tiba-tiba terdengar panggilan Bu Nyai Saudah, "Salma ... lihat siapa yang datang."

Refleks Abid ikut menoleh ke sumber suara. Ia seketika terkejut dan mematung. Husna telah berdiri di samping ibu mertuanya. Tatapan mereka sempat beradu beberapa saat. Tapi, Abid cepat-cepat menghindar dan berpura-pura sibuk dengan makanannya.

Jantungnya berdegup kencang seketika. Berbagai kenangannya dengan gadis itu, seolah berlompatan di kepala. Ternyata, rasa itu tak pernah pergi atau mati. Dia hanya tertidur.

Titik BalikWhere stories live. Discover now