Dua Puluh Empat

195 33 10
                                    

Mustahil bagi Salma melupakan Ishak. Jangankan lupa, berhenti sejenak memikirkannya pun tak mungkin. Apalagi ... sejak ia kembali berkomunikasi dengan satu-satunya lelaki penghuni hatinya itu.

"Saya nggak mau tidur di kamar, Mas. Saya ingin fokus pada ujian. Boleh, kan, tidur di ruang TV?" pinta Salma seminggu yang lalu yang tentunya telah Abid iyakan tanpa pikir panjang.

"Asal sampean nyaman saja," jawab Abid diiringi senyum dan ekspresi wajah tulus, "tapi ... masak sendirian?"

"Oh, saya bareng mbak ndalem."

Ternyata, Abid itu hanya pintar secara akademis, tapi dia mudah dibodohi. Yang paling penting kali ini adalah bagaimana berusaha berpura-pura bersikap manis dan mencari alasan agar tak terlalu banyak diawasi.

Rasanya sangat sesak seranjang dengan lelaki yang sama sekali tak dicintai. Terlebih lagi, ingatan perihal hubungan intim yang dipaksakan. Rasanya begitu membekas di hati. Luka sangat mendalam.

Kini, balkon ruang keluarga menjadi tempat favoritnya. Belajar untuk persiapan ujian menjadi alasan yang sangat tepat. Sebab ujian kelulusan juga, membuat Abid menuruti apa pun keinginan Salma.

Seperti kali ini, Salma masih berada di balkon padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah sembilan malam. Pun begitu, udara terasa semakin dingin. Kelindan cahaya sudah beberapa kali muncul di langit. Rupanya, gemintang bersembunyi di balik gumpalan awan pekat yang tersamarkan gelap. Aroma petrikor semakin kuat menusuk hidung.

Ah, andai Bu Nyai Saudah sudah turun, niscaya Salma akan segera masuk dan menutup pintu. Ia sebenarnya khawatir terhadap cuaca. Tapi sayangnya, sampai saat ini, sang ibu masih betah duduk di depan TV yang menyala sambil membaca kitab hikayah salafus shalih yang akan dibawakan untuk kajian rutin majlis taklim muslimah esok hari.

Salma sudah tak sabar, Ishak tak jua menghubungi. Padahal, ia berjanji akan menghubungi segera saat tiba di kontrakannya. Ya, sekarang Ishak sudah pindah dari pesantren dan memilih mengontrak sebuah rumah petak mungil tak jauh dari kampus. Kesibukan semester akhir menjadi alasannya. Tak nyaman berdiam di pesantren jika harus sering keluar secara tiba-tiba sewaktu-waktu, katanya.

Sambil menunggu, Salma membaca kitab fiqihnya. Ia harus bisa lulus dengan nilai memuaskan. Selain agar kedua orangtuanya senang dan semakin bisa menambah kepercayaan mereka yang sempat hilang, juga karena Ishak mengharapkannya.

"Berusaha maksimal, ya, Salma," ujar Ishak kala itu, kala mengobrol melalui telepon beberapa hari setelah Salma memutuskan menjawab pesan-pesan pada kotak masuk media sosialnya.

Dan sekarang, mereka memutuskan untuk mengubah panggilan kesayangan di antara mereka. Katanya, meski Ishak tetap tak mampu membenci Salma, pun tak mungkin melupakan kenangan di antara mereka, tapi ia harus tahu diri. Di antara mereka hanyalah ada hubungan sahabat yang saling mendukung.

Perih ... perih hati Salma kala mendengarnya. "Kak, maafin aku. Aku nggak sempat pamit. Aku—"

"Salma ..." tukas Ishak dengan intonasi lembut. Suara baritonnya membuat setiap sel tubuh Salma bergetar hebat, "itu bukan salahmu. Ini sudah takdir Allah. Apalah kita sebagai hambanya, kan?"

"Tapi ..." Salma tak bisa melontarkan kalimatnya. Ia tahu betapa Ishak menderita menunggu kabarnya selama ini.

"Nggak, aku baik-baik saja, Salma. Kamu jangan khawatir. Tapi memang, setelah bisa kembali mendengar suaramu, tahu kabar dari bibirmu sendiri, jauh membuatku lebih kuat."

"Kak ..."

"Kamu harus janji akan lebih kuat dan jadi istri yang baik. Demi persahabatan kita, Oke?"

Lihatlah, betapa baiknya Ishak. Betapa sempurnanya ia sebagai seorang lelaki. Kekasih yang perhatian dan romantis, pun teman baik yang mendukung dengan sepenuh hati. Tulus.

Layar ponsel berkedip, membuat Salma seketika mengalihkan perhatian. Ia langsung menerima panggilan itu.

"Kak," ujarnya antusias.

"Salma. Gimana? Lancar belajarnya? Ada yang perlu aku bantuin?"

Salma menggeleng. "Masih lancar-lancar aja. Nggak ada masalah."

"Syukurlah. Sisa tiga hari lagi, kan, ujiannya?"

"Iya. Aku nervous banget. Bener-bener berharap bisa lulus dengan nilai bagus. Bener, sih, aku nggak pernah juara kelas. Tapi, asal nilaiku bagus, pasti bakal bikin Abuya dan Umma senang."

Ishak menjawab dengan hmm pendek setiap kali Salma bercerita. Pendengar yang baik.

"Kalau mereka senang, aku nggak akan kesiksa lagi dan dipenjara kayak kemarin-kemarin."

"Pastinya. Oh, ya, kamu jadi mau kuliah di UIN?"

"Entahlah, Kak. Aku capek, lo, belajar agama melulu. Apa nggak bisa aku, tuh, dibolehin belajar yang kusuka? Aku pingin banget masuk jurusan sastra. Masalahnya, aku wajib masuk Tarbiyah. Sastra pun, palingan Sastra Arab." Salma berdecak seraya bersedekap.

"Sabar. Turuti aja, Salma. Nanti pas udah kuliah, kamu bisa transfer atau nyari beasiswa masuk jurusan yang kamu suka."

"Transfer? Bisa, ya?"

"Jalani aja dulu, Say—" Ishak seketika menghentikan kalimatnya, "maaf, maafin aku."

Jantung Salma rasanya telah longsor ke kaki. Ada senang sekaligus perih mengiris hatinya. Bahkan saling menyayangi antar sahabat pun sesulit ini.

Hening beberapa saat. Hingga, Ishak kembali memulai percakapan, "Oh, ya, olshop kamu gimana? Tetep mau jualan baju?"

Salma menghela napas dalam sebelum menjawab. Jujur, jantungnya masih bergemuruh dan terasa ngilu. "Entahlah. Belum kupikirin lagi. Tapi, sebisa mungkin aku harus segera aktif lagi. Soalnya, alasan biar aku bisa pegang HP lagi ya olshop. Selain itu ... aku udah mulai kere."

"Hmm? Kere maksudnya ...?"

Salma berdecak. "Capek nggak, sih, duit jajan tetep dari Abuya. Si Abid ngasihnya cuma segitu doang. Jauh dari cukup, Kak."

"Salma ... jangan bilang gitu. Mungkin aja kemampuan dia masih segitu. Kamu yang sabar, ya? Mau kuisiin pulsa? Atau ... kubeliin buku biar kamu nggak bosen?"

Salma kembali terdiam. Bagaimana mungkin ayahnya tak memberi kesempatan pada Ishak. Apa yang ada dalam pikirannya? Bukankah dengan berkomunikasi lalu memusyawarahkannya, semua akan baik-baik saja?

Padahal, Ishak adalah jenis lelaki yang sangat memuliakan perempuan. Dia juga nggak kalah alim dibanding Abid. Andai sang ayah memberi kesempatan bahkan dengan syarat tak boleh berhubungan dengan Ishak beberapa tahun, pasti akan Salma patuhi. Asalkan, pada akhirnya nanti ia tetap bisa bersama lelaki yang pasti mampu membuatnya menjadi perempuan paling bahagia.

"Salma ... aku beliin, ya? Aku checkout-in di marketplace aja. Kamu kirim tautannya. Biar aku yang urus. Aman, kan?"

"Tapi, Kak—"

"Ngobrol sama siapa, Nduk?" Kalimat Bu Nyai Saudah mengejutkan Salma tiba-tiba. Ia sudah berdiri di sampingnya.

Sontak, Salma kebingungan dan seketika membalik ponsel yang berada di meja belajar kecil yang tengah ia gunakan. Menjadikan layarnya berada di posisi bawah. "B-boten ..." ia seketika beranjak, membuat meja kecil itu terbalik sehingga ponsel dan kitabnya jatuh ke lantai, "ehm ... anu, t-teman."

Bu Nyai Saudah berdecak seraya menggeleng. "Lihat! Kamu itu kenapa sangat ceroboh?!" Ia seketika berjongkok untuk mengembalikan meja dan kitab ke posisi semula.

Melihat hal itu, Salma cepat-cepat membungkuk. Tujuan utamanya adalah ponsel. Jangan sampai sang ibu memeriksanya.

Seketika, Bu Nyai Saudah menatap putrinya penuh tanya. "Kamu kenapa gupuh, Salma?"

Titik BalikWhere stories live. Discover now