Dua Puluh Satu

184 27 6
                                    

Ini hari keempat sejak mereka kembali ke Nurul Iman, artinya seminggu sudah menjadi suami-istri. Sikap Salma terhadap Abid tetap tidak berubah. Ramah dan ya ... bisa dibilang cukup manis.

Seperti siang ini, saat Abid masuk ndalem melalui pintu depan. Ia berpapasan dengan Salma yang juga masuk melalui pintu belakang. Salma tersenyum dan langsung mendekatinya.

Masih dengan seragam muallimat dan kitab di dekapannya, ia mencium punggung tangan Abid. "Mau kopi?" tanyanya kemudian, masih dengan wajah ramah dan senyumnya.

Senang sekali rasanya Abid mendengar tawaran itu. Kopi di siang hari seusai mengajar. "Boleh. Tapi, saya jamaah di masjid dulu, ya?"

Salma mengangguk, lantas mereka berjalan beriringan menuju kamar.

Ada secuil rasa bersalah bercampur asa di hati Abid melihat sikap Salma. Ia harus bisa membahagiakan istrinya sekaligus benar-benar membersihkan hati dari bayangan gadis lain. Sang istri berusaha bersikap baik meskipun mungkin saja masih belum benar-benar bisa melupakan kekasihnya. Ini sebentuk usaha yang patut dihargai.

"HP-nya ... masih belum dikembalikan sama Abuya?" tanya Abid ketika telah sampai di kamar. Ia menggantung peci hitamnya pada gantungan baju.

Salma, yang tengah membuka hijab dan berdiri di sampingnya, menggeleng pelan. "Belum. Emangnya, udah dimintai izin?"

"Kemarin lusa pas saya dipanggil buat ngobrol itu. Kata Abuya, beliau sendiri yang mau nyerahin ke sampean." Abid kini melangkah menuju kamar mandi seraya membuka satu per satu kancing koko putihnya.

"Mungkin ... Abuya masih ragu," ujar Salma lirih.

Abid menoleh dan melihat Salma menunduk lesu. Kasihan dia yang sangat berharap mendapat ponselnya kembali. "Saya akan coba mintain lagi, ya? Mungkin nanti. Sampean jangan khawatir," ujarnya sebelum kemudian masuk kamar mandi untuk bersuci dan segera ke masjid.

Abid bersegera kembali ke ndalem seusai salat berjemaah. Ia tak sabar untuk menikmati kopi buatan istrinya. Ia senang dengan pernikahannya yang berjalan lancar, jauh dari apa yang sempat dipikirkan.

Sebelumnya, Abid sempat berpikir bahwa Salma mungkin saja akan berulah dan mempersulitnya. Ini yang membuat cemas. Dan asumsi itu, menjadikannya semakin merindukan Husna. Tapi dengan sikap Salma yang baik dan menyamankan hati, Abid yakin bahwa ia bisa benar-benar membersihkan hati dari bayangan yang bukan seharusnya. Perlahan tapi pasti.

"Ngopinya di atas, ya?" Salma melongok dari pintu kamar. Sepertinya, dia membuat kopi tadi, hingga Abid tak menemukannya di kamar saat datang.

"Nggak ada Umma, kan?" Abid mengantongi ponselnya yang tadi ia tinggal saat ke masjid.

Salma menggeleng. "Umma istirahat kalau siang gini. Beliau, kan, ngajar sekolah sore."

Keduanya menuju ruang keluarga di lantai dua untuk bersantai dan mengobrol ringan. Keduanya duduk pada sofa dan menyalakan televisi.

"Oh, ya, Mas. Dulu, Umma pernah janji bahwa saya akan diperbolehkan untuk kuliah ketika udah nikah. Menurut Mas Abid gimana?"

"Nggak masalah," jawab Abid ringan, "saya ngikut saja asal Umma dan Abuya memberi izin.

"Alhamdulillah ..." ujar Salma senang, "akhirnya saya bisa menggapai cita-cita."

Melihat sang istri senang, Abid juga gembira. Ia bisa menjalankan amanah sang guru dengan baik. Tak ada kebahagiaan n kesuksesan terbesar seorang santri kecuali mendapat ridho gurunya.

Keduanya bercakap-cakap hingga menjelang Ashar. Lantas bakda Isya, Abid mencoba berbicara pada sang mertua tentang masalah ponsel. Ia berjalan di belakang Kiai Mahrus saat usai jamaah Isya, seperti biasa. Hanya saja, saat masuk ruang tamu, Abid memanggil mertuanya lirih dan takzim. Membuat mertuanya menghentikan langkah dan berbalik. Ia menanyakan kepentingan apa yang ingin Abid utarakan.

"Niku, Abuya, soal HP-nya Ning Salma."

"Ya Allah, Abuya lupa," Kiai Mahrus tersenyum seraya menggeleng, "Ya, wis, panggil Salma, Abuya tunggu di ruang tengah." Setelah menepuk lengan menantunya, Kiai Mahrus meneruskan langkah.

Sekitar lima menit kemudian, Salma dan Abid sudah menunggu Kiai Mahrus di ruang tengah. Mereka duduk bersebelahan pada sofa cokelat sintetis premium. Sementara Kiai Mahrus datang dan duduk pada sisi yang berseberangan beberapa saat kemudian.

"Ini Salma," ujar lelaki tua berkarisma itu seraya menyodorkan kotak ponsel dan meletakkannya pada meja, "Abuya harap, kamu bisa mempergunakannya dengan bijak."

Seketika, Salma menatap sang ayah dengan wajah semringah. "Insyaallah Abuya." Dia mengambil ponsel dan meletakkannya di pangkuan. Sepertinya, ia tampak tak sabar untuk mengaktifkannya kembali.

"Kamu sangat beruntung punya suami seperti Nak Mas. Dia yang malah memintakan HP itu ke Abuya."

Salma mengangguk dan menjawab dengan inggih mantap. Ia masih dengan wajah bahagianya.

Kiai memberi wejangan singkat, lantas beranjak dan kembali ke ruangannya. Biasanya, dia akan muthalaah hingga sekitar jam sembilan malam.

Sedangkan Salma dan Abid kembali ke kamar mereka. Malam ini, Abid berencana belajar untuk persiapan mengajar, mengingat tiga hari ini ia selalu gagal belajar sebab tiba-tiba berhasrat untuk melakukan hubungan badan yang membuatnya berakhir kelelahan dan tertidur. Tentu saja, ia harus bangun dini hari untuk meng-qadha belajarnya.

"Mas Abid, saya ingin kembali aktif di media sosial. Boleh?" Salma meletakkan kotak ponsel, lalu melepas hijabnya.

Abid membuka lemari buku kecil di sebelah lemari pakaian. "Nggak masalah. Selalu ingat pesan Abuya tadi saja. Selain itu, ingat batasan bersosialisasi bagi perempuan."

"Tentu aja. Tapi, saya emang harus eksis. Saya ingin kembali menaikkan jangkauan demi kepentingan bisnis." Salma sudah duduk pada ranjang dan menyalakan ponselnya.

Abid yang tengah memilih kitab, menghentikan kegiatannya. Ia melongok dari balik pintu kaca lemari kitab ke arah istrinya, "Bagus juga, sih, jualan lagi jika itu memang kesenangan sampean. Tapi, bukankah lebih baik jika dilakukan dengan sedikit lebih santai? Jangan sampai berjualan mengganggu studi dan tugas di pesantren."

Belum juga Salma menjawab, ketukan dan panggilan lirih seorang mbak dalem memutuskan obrolan mereka. Salma menjawabnya seraya melangkah dan membuka pintu. Seorang santri perempuan berdiri di depan pintu dengan dua gelas jamu dan penawarnya, seperti dua hari sebelumnya. Jamu yang sama dengan yang Abid pertama kali minum.

Salma mengambilkan jamu itu dan menyerahkanya pada Abid agar segera diminum. Pasalnya, sang mbak ndalem biasanya tidak akan pergi sebelum mendapati gelas-gelas itu dalam keadaan kosong. Itu pesan dari Bu Nyai Saudah.

"Jamu apa, sih, kok, maksa banget harus segera dihabisin?" Salma mencebik seraya menunggu Abid menghabiskan jamunya.

"Sudahlah, Ning. Ini jelas jamu, nggak mungkin racun. Lagipula, ini titah Umma," jawab Abid setelah menghabiskan jamu dan penawarnya. Ia meletakkan kembali gelas pada nampan.

Salma mengedikkan bahu dan berdecak. Lalu, berbalik untuk menyerahkan dua gelas kosong itu pada mbak dalem yang masih berdiri di depan pintu.

Sepeninggal santri perempuan tadi, Salma meneruskan kalimatnya, "Balik lagi urusan HP, saya janji bakal bisa ngatur. Sampean tenang aja. Ini, kan, persiapan untuk kuliah saja nanti."

Abid terdiam. Ia yang sudah mendapat kitab yang dicari, menghadap Salma setelah menutup pintu lemari. Ia mengangguk-angguk. Salma benar. Jika ia meneruskan kuliah berarti, itu tanggung jawab Abid. Artinya, ia harus bisa memenuhi urusan biaya kuliah. Padahal gajinya sebagai pengajar saat ini sangat pas-pasan. Andai mereka pulang ke rumah Abid, mungkin akan berbeda keadaannya.

"Sampean tenang aja," Abid mendekati istrinya dan berhenti di hadapan Salma yang masih berdiri, "saya akan usahakan biayanya."

"Loh, bukan itunya. Biaya kuliah sudah jelas Abuya yang akan memenuhi. Abuya udah bilang sendiri. Saya mempersiapkan untuk kita saat pindah ke Surabaya. Saya, kan, maunya kuliah di Surabaya."

Abid terkejut. Salma ingin kuliah di Surabaya? Bukankah ... kampus Ishak berada di kota itu? Lagipula, jika mereka pindah, otomatis Abid harus berhenti mengajar. Dia akan harus bisa mencari nafkah sendiri. Lelaki yang memanfaatkan jerih payah istri untuk menggantikan kewajibannya, akan kehilangan marwah sebagai suami. Dan jika itu terjadi, keberkahan rezeki akan hilang.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang