Dua Puluh Sembilan

167 27 2
                                    

Hari baru saja beranjak sore. Bel tanda kegiatan jemaah salat Ashar berdentang tak sampai lima menit lalu. Husna keluar dari kamar mandi untuk bersuci manakala menemukan ibunya sudah berdiri menunggu.

"Ada Salma," ujar Bu Nyai Farihah seraya berisyarat dengan kepala ke arah ruang tamu perempuan.

Sekujur tubuh Husna seketika bereaksi, bergetar hebat. Memang nama Salma yang disebut, tapi yang muncul di benaknya adalah Abid. Oh, kapankah perasaan ini menghilang?

"Mbak Ning?" Husna mengernyit. Kedua tangannya mencengkeram handuk yang tersampir pada pundak. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya. Sekuat tenaga ia menetralkan semua agar tak tampak konyol di hadapan ibunya.

"Iya. Tapi bukan sama suaminya," Bu Nyai Farihah mencebik dan mengedikkan bahu, "Sama teman perempuannya," ia menggeleng dan mendesah kecil, "Kamu temui saja."

Ah, Husna merasa lega dengan penuturan sang ibu. Mengiakan titah itu, ia lantas segera menuju kamar untuk berpakaian lengkap setelah Bu Nyai Farihah berlalu.

Saat Husna memasuki ruang tamu dalam, Salma seketika beranjak dari sofa kain abu-abu dan mendekati adik sepupunya. Ia memeluk Husna dan berkata bahwa sangat rindu padanya.

Husna pun balas memeluk. Lantas setelahnya, ia beralih pada sesosok perempuan yang ... ah, pantas saja Bu Nyai Farihah bersikap semacam itu saat memberitahukan perihal teman Salma.

Perempuan dengan make up yang bisa dibilang sangat mencolok. Alisnya? Iya alisnya adalah yang pertama tertangkap mata Husna. Apa memang ada alis asli semacam itu? Sangat cokelat dan tebal, terbentuk sempurna. Hidungnya pun tampak aneh, terlalu mancung. Tak wajar. Lalu bibir, mengapa bibir perempuan ini bisa setebal itu?

Tak hanya penampilan wajah, bahkan cara berpakaian perempuan ini bisa dikatakan "kurang pantas" dikenakan di lingkungan pesantren. Kaos ketat cokelat, terlampau ketat, dengan outer blink-blink dan berbunga-bunga yang rasanya tak terlalu berguna. Sebab, lekuk dadanya yang berukuran ugh ... luar biasa itu tak bisa tersamarkan. Gaya berkerudungnya juga terlilit pada leher dengan sanggul yang sangat tinggi. Ditambah lagi bahan yang berupa celana kain tak kalah ketat.

Dalam hati, Husna beristigfar banyak-banyak. Sebab, ia tak bisa untuk tak terkejut dan menilai dalam hati. Padahal, ia sadar bahwa ia tak seharusnya demikian, menilai orang sesuka hati. Ternyata, ghaddul bashar bukan hanya harus dilakukan untuk menghindari pandangan pada lelaki selain mahram. Tapi, memandang sesama perempuan yang agak terlalu berlebihan juga harus bisa dilakukan.

Mereka berkenalan dan berbasa-basi sebentar. Perempuan itu bernama Jeni. Hanya itu yang Husna tahu.

Sebenarnya, Husna menyimpan tanya besar dalam benaknya, apa yang membuat Salma datang ke rumahnya? Dari mana ia mengenal perempuan bernama Jeni ini? Lalu, mana Abid, mengapa tak diantar? Dan berbagai pertanyaan yang tak mampu ia tanyakan.

"Oh, ya, Dik, nanti kalau ada orang rumah ngejemput, sampean bilang saya di sini seharian, ya?"

Husna tersentak, apa maksud Salma? Apa maksudnya adalah ia harus berbohong lagi?

"T-tapi kenapa?"

"Jadi gini, Mbak," tukas Jeni, "Salma sejak pagi main sama aku. Dia cuma refreshing biar nggak stres. Bahaya, loh, stres kalau dibiarin. Bisa-bisa dia depresi atau gila," ia berrgidik,  "ngeri, kan? Makanya, Salma butuh refreshing ini."

Mengangguk, Husna mengiakan meskipun dalam hati dia tak bisa membenarkan perbuatan Salma. Ia menebak bahwa sepupunya itu keluar rumah tanpa izin.

"Tapi, bagaimana dengan Umi dan Abi? Maksud saya, bagaimana kalau Suami Mbak Ning atau Ammi Yai nanya ke Umi dan Abi?" Husna menatap Salma penuh tanya.

"Tenang aja. Nanti pasti yang dateng Mas Abid. Jadi, nggak bakal berani nanya-nanya, kan?"

Mereka mengobrol beberapa menit, dan Jeni pamit tak lama kemudian. Lantas sekitar tiga puluh menit setelahnya, setelah mereka berjemaah Ashar di kamar Husna, Abid benar-benar datang menjemput.

***

Alih-alih, Abid dipersilakan masuk ke ruang tamu dalam, ruang untuk menerima keluarga yang bertamu. Abid sempat bertanya perihal Kiai Djalal dan istrinya kepada remaja belasan tahun yang menyambutnya tadi. Ternyata, sang paman mertua tengah ada kegiatan di luar bersama Bu Nyai Farihah. Hanya tersisa Husna dan dua adik kembarnya.

Abid berucap salam pelan. Suaranya bergetar sebab gugup. Tentu saja, ia cemas jika harus kembali bertemu Husna. Memang sejak berangkat tadi ia berupaya menetralkan rasa hati. Tapi, saat ia kembali harus berhadapan dengan gadis lugu itu, sungguh semua persiapan itu hancur sama sekali. Jantungnya berdentum keras. Bahkan, seketika timbul perbandingan tak seharusnya dalam hati. Andai yang Abid nikahi adalah Husna, betapa hidupnya akan lebih mudah dan damai. Dia merupakan tipe perempun penyejuk mata hati.

Tak berlama-lama, Abid langsung mengajak Salma pulang. Tak ada basa-basi antara mereka, hanya kalimat terima kasih saja yang terucap sebelum pamit.

Sepanjang perjalanan Abid berusaha fokus mengemudi. Tak banyak yang dia bicarakan dengan Salma meskipun ada amarah menggelegak hingga ubun-ubun. Terlebih lagi, melihat sikap istrinya yang seolah-olah tak merasa bersalah. Tapi, Abid tak mau bersitegang untuk kali ini. Ia akan bersikap sebagaimana syariah menuntunkan. Mendiamkan Salma.

Perbuatan Salma sudah melampauai batas. Ia keluar tanpa izin bahkan tidak kepada keluarga lain. Tadi, Bu Nyai Saudah bahkan sempat pingsan saat mengetahui Salma tak berada di kamar atau di mana pun di Nurul Iman. Untung saja segera mendapat pertolongan dan semua baik-baik saja.

"Sampean gak akan ngaduin ini ke Abuya dan Umma, kan?" tanya Salma datar.

Abid hanya menggeleng. Ia malas menjawab. Pandangannya tak beralih dari jalanan di depannya.

Untuk apa pula diadukan? Sebab, yang mengetahui pertama kali bahwa Salma pergi tanpa izin adalah Bu Nyai Saudah. Bagaimana keluarga tak berpikiran buruk jika Salma tak bisa dihubungi. Kebiasaan lama, memblokir kontak keluarga.

"Makasih," sambungnya pendek, "saya hanya main di rumah Dik Husna seharian, kok, nggak ke mana-mana. Itu yang perlu sampean tahu."

Abid lagi-lagi hanya mengangguk. Ia menurunkan gigi kendaraan dan mengurangi lajunya saat melewati perempatan. Kebohongan murahan. Bagaimana Abid bisa percaya jika tadi ia sempat mengobrol dengan Husna menggunakan ponsel Bu Nyai Saudah perihal fakta kejadian ini.

"... tolong Cak Mas jangan marahin Mbak Ning. Juga tolong lindungi dia dari kemarahan Ammi Yai. Mbak Ning baru datang hampir Ashar tadi."

Abid tidak akan mengadukan semua ini. Bukan demi Salma, apalagi Husna. Tapi, ia tak ingin mertuanya cemas. Sebab, Salma adalah amanah dan tanggung jawabnya.

Perjalanan hampir tiga puluh menit akhirnya berakhir. Abid memarkirkan mobil di halaman ndalem. Lantas, ia keluar tanpa memedulikan Salma. Ia masih marah.  Tapi, betapa terkejutnya ia manakala melihat dua koper besar di teras kediaman Kiai Mahrus.

Kiai Mahrus seketika beranjak dari karpet teras di mana terkadang ia menerima tamu. Lantas, mendekati Abid dan Salma.

"Umma kalian sedang istirahat di kamar. Biar ndak kemalaman, mending kalian segera berangkat ke Probolinggo. Abuya juga sudah menghubungi Kiai Muhib."

Masih dengan keterkejutannya, Abid menoleh ke samping, penasaran dengan reaksi Salma.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang