Tiga Puluh

181 36 14
                                    

Seharusnya memang tak boleh sedikit pun menggantungkan harapan pada Abid. Lelaki egois dan lebay itu memang tak seharusnya dipercaya. Lihat saja apa yang dilakukannya kali ini? Ya ampun ... tiba-tiba ke Probolinggo tanpa pemberitahuan apalagi musyawarah. Dilihat dari barang yang dibawa, Salma curiga bahwa kali ini mereka akan menetap lama. Dan ini semua hanya karena sebuah kesalahan kecil.

Memang benar, Salma tak memungkiri bahwa dia bersalah karena keluar rumah tanpa izin. Tapi, semua dia lakukan sebab Abid yang membuatnya tertekan. Dia tak mau menjadi gila hanya karena stres dan frustrasi.

Lagipula, tadi ia hanya mengobrol dengan Jeni dan berjalan-jalan. Tak melakukan hal aneh. Tidak juga mencoba bertemu Ishak meskipun bisa saja mereka melakukannya. Terlepas dari pertemuan Jeni dengan kekasihnya.

Ah, Salma jadi iri melihat Jeni dengan sang kekasih. Ternyata, kekasihnya merupakan putra salah seorang Kiai. Andai kedua orangtuanya seperti orangtua kekasih Jeni yang mengizinkan putranya memilih pasangannya sendiri, sungguh Salma akan berbahagia. Padahal setahu Salma, Jeni hanyalah yatim piatu yang hidup sendiri di rumah kontrakannya. Dia pun bukan lulusan pesantren. Tapi nyatanya, dia akan menikah dengan kekasihnya tak lama lagi.

Berulang kali mendengkus dan berdecak, Salma kesal sekali dengan yang terjadi sore ini. Ia melirik dengn tatapan tajam pada Abid yang ... ya ampun sok tenang mengemudi.

"Berapa lama nginep di rumah Abi?"

"Saya nggak tahu. Kita tunggu saja bagaimana nanti keputusan orangtua kita."

Salma tersentak. Tidak tahu katanya? Tenang sekali Abid berkata seperti itu.

"Jangan bilang kita akan pindah dan menetap di sana."

"Saya nggak tahu. Yang penting kita nyampe dulu ke rumah."

Salma mendengkus kesal. Ia memukulkan tangan kanannya yang terkepal pada jok mobil tempatnya duduk. "Sampean sadar nggak, sih, kalau yang sampean lakukan ini jahat banget?!"

"Bukan saya yang memutuskan," jawab Abid datar. Ia malah mematikan pendingin dan membuka jendela mobil.

Tentu saja, kekesalan Salma kian menjadi-jadi. Dengan membuka jendela artinya membiarkan debu jalanan masuk. Apalagi, hari sesore ini bertepatan dengan berakhirnya jam kerja. Jalanan ramai dengan kendaraan para pekerja yang baru keluar dari tempat kerja masing-masing.

"Bisa nggak, sih, tutup kacanya? Debu tauk?"

"Saya butuh udara segar. Udara AC kurang segar," lagi-lagi, hanya raut dan jawaban datar dari Abid. Sepertinya ia sengaja menguji emosi Salma.

Salma berdecak. Ia bersedekap seraya bersandar pada sandaran kursi dengan wajah cemberut. Untungnya, perjalanan ke Probolinggo itu berarti perjalanan ke arah timur. Tak ada sinar mentari sore yang menyilaukan menerpa wajah. Hanya saja, panasnya hati, tetap menggelegak di dada.

Mengapa bahkan ayah Salma jauh lebih mempercayai Abid yang jelas-jelas sangat egois dan kasar? Terlebih lagi tadi, sang ayah dengan mudah menyerahkan hatchback maroon ini untuk Abid? Yang benar saja? Hanya empat bulan sebagai menantu, loh. Salma yang sudah dua puluh dua tahun menjadi anak saja tak pernah mendapat kepercayaan macam itu.

Hati Salma masih gemuruh. Ia tak percaya dengan apa yang terjadi kali ini. Kembali, ia menegakkan punggung dan menatap Abid dari samping. "Sampean puas bikin saya menderita begini?!" pekik Salma yang membuat Abid tersentak dan seketika memejam. Tapi anehnya, ia masih bisa mempertahankan sikap sok tenangnya itu.

Satu dehaman yang mirip batuk, atau malah batuk yang dibuat-buat. "Lebih baik sampean tenang dulu. Saya juga nggak tahu kenapa tiba-tiba diperintah ke rumah Abi. Nggak ada rencana macam ini sebelumnya. Saya juga kaget."

"Bohong! Ini pasti ulah sampean. Sampean hanya pingin menguasai saya, kan?"

"Terserah mau menilai bagaimana. Saya hanya berkata sebenarnya. Lagipula, ini masih di jalan. Kalau terus saja bertengkar, bisa bahaya. Saya harus konsentrasi mengemudi."

"Egois!" Salma membuang muka ke arah jendela mobil di sampingnya. Perlahan, punggungnya kembali bersandar.

Kini, gemuruh amarah berubah menjadi kesedihan tak terperi. Setitik bening muncul di sudut mata Salma, lantas dengan cepat berubah menjadi aliran deras yang menganak sungai.

Rasanya, kebahagiaan yang tadi sempat ia cicipi bersama Jeni, berubah cepat. Bak mentari sore yang tenggelam perlahan di ufuk barat, menyisakan cahaya jingga yang perlahan menghitam.

Kaduanya sampai di Darul Muhtar bertepatan dengan kumandang adzan Magrib. Abid memarkirkan kendaraan di depan garasi, lantas segera turun dan membuka pintu bagasi belakang.

Salma turun dengan ogah-ogahan. Pilu dan nestapa mencengkeram kuat hatinya. Habislah kehidupan bahagia yang diimpikan jika benar-benar harus menetap di rumah ini. Bagaimana Salma harus beradaptasi dengan lingkungan baru? Orang-orang asing dan kebiasaan baru?

Seorang santri putra muncul dari gang kecil antara rumah Kiai Muhib dan rumah lain di sebelahnya. Ia berlari kecil menghampiri Abid dan membantunya membawa salah satu koper.

Salma menyapukan pandangan ke sekeliling. Keluarga Abid merupakan keluarga besar yang hidup dalam satu lingkungan. Selain deretan bangunan asrama dan masjid, ada rumah-rumah berukuran besar berjajar di lingkungan ini. Sebenarnya, semacam ini tak jauh beda dibanding rumah Salma. Hanya saja, di Pasuruan, setiap keluarga memiliki asrama pesantren masing-masing. Sementara di sini, sepertinya asrama pesantrennya hanya bernaung di bawah satu pengurus kepengasuhan.

"Ayo segera masuk. Sudah Magrib," ujar Abid datar seraya melangkah dan mengunci mobil.

Sikap Abid kali ini tak seperti biasanya. Sebelumnya, bukankah ia selalu menunggu Salma dan berjalan beriringan. Tapi kali ini, ia melenggang begitu saja, seolah-olah tak memedulikan istrinya sama sekali.

Salma berjalan mengikuti sang suami. Mereka langsung menuju kamar Abid yang berada di bagian tengah. Tak ada Kiai Muhib maupun Bu Nyai Nikmah, sepertinya mereka tengah melaksanakan Jamaah Magrib.

Abid mengajak Salma untuk bersegera menunaikan salat Magrib. Sama seperti tadi, sikapnya kali ini sangat datar cenderung dingin. Menyebalkan.

Barulah sesaat sebelum salam pertama dilakukan, terdengar ketukan pintu dan panggilan lembut Bu Nyai Nikmah. Cepat-cepat, Abid beranjak dari duduknya dan membuka pintu kamar setelah melakukan salam kedua.

Bu Nyai Nikmah berucap salam dan masuk kamar. Ia seketika menghampiri Salma yang sudah berdiri menyambut mertuanya. Ya, sekesal-kesalnya hari ini, tetapi ia akan tetap berusaha bersikap ramah pada mertua.

"... alhamdulillah. Nduk Ning sudah makan? Kita makan malam sama-sama, ya?"

Salma mengangguk sopan. Ia mencium punggung tangan mertuanya.

Dengan penuh kasih, sang mertua memeluk Salma dan mencium kedua pipinya. "Semoga betah, ya? Di mana pun kalian tinggal, yang penting rukun antara suami istri. Kalau memang ada apa-apa, kamu tinggal bilang sama Umi."

Salma kembali mengangguk sopan.

"Urusan administrasi kependudukan, nanti kita minta tolong ke pak RT. Biar diurus habis lebaran."

"Ad-minis-trasi?" tanya Salma heran.

Bu Nyai Nikmah menatap Salma dengan penuh kasih. "Iya. Kalian, kan, bakal tinggal di sini terus."

Seketika, Salma tersentak. Apakah ini artinya, ia akan selamanya tinggal di rumah ini? Jauh dari keluarga dan teman-temannya?

Titik BalikWhere stories live. Discover now