Sebelas

162 34 2
                                    


Di depan teras masjid kampus, Husna menghentikan langkah. Abid duduk di undakan masjid. Memunggunginya.

Satu dehaman lirih berhasil membuat Abid berbalik dan seketika beranjak. "Sudah?" pertanyaan basa-basi yang tak butuh jawaban, "Jadi … kita nyari lagi, nunggu di sini, atau … balik ke Ampel?"

'Di sini saja, jangan ke mana-mana,' ingin rasanya Husna mengucapkannya. Tapi, mana mungkin. Ia malah menunduk dan menjawab lirih, "Terserah sampean saja."

"Mungkin baiknya kita kembali ke Ampel. Sekitar satu jam ke depan, adzan Ashar akan berkumandang. Nggak mungkin sesore ini Ning Salma nggak akan mengabari?"

Satu anggukan pelan Husna yang seketika diikuti helaan napas Abid. "Baiklah. Kita balik ke Ampel." Pemuda baik dan sopan itu berbalik lantas melangkah.

Husna mengikuti di belakang. Lelaki yang terus berusaha menjaga kesopanan meskipun mereka hanya berdua. Bahkan, saat harus makan semeja tadi pun, Abid masih bisa menempatkan diri dengan baik. 

Kejadian makan berdua pertama kali bagi Husna. Ya, makan dengan lelaki selain keluarganya. Kalau bukan karena ulah Salma, tentu hal seperti itu tidak akan pernah terjadi dalam hidup gadis lugu dan patuh itu. Mereka duduk semeja pun karena warung yang sangat ramai. Lagipula, meja di warung tadi, kan, meja panjang berisi banyak orang. Tapi tetap saja, Husna canggung dan gugup.

"Lebih baik kita makan dulu. Sudah waktunya makan siang, kan?" ujar Abid tadi ketika ia kembali dan mengabarkan bahwa tak bisa menemukan Ishak.

Husna hanya mengangguk. Dadanya kembali berdentum-dentum dan pipinya menghangat. Padahal, pertanyaan Abid adalah hal wajar.

"Di gang sebelah kampus ini ada banyak warung. Njenengan tidak apa-apa, kan, makan di warung?" Husna sebenarnya sudah mengangguk, tapi Abid langsung menyambung lagi kalimatnya, "Tapi kalau mau dibawakan ke sini nggak apa-apa. Biar saya belikan."

"J-jangan," tukas Husna. Ia tak ingin merepotkan Abid lagi, "saya nggak apa-apa, kok."

Pada akhirnya, mereka berjalan bersama ke gang sebelah kampus. Abid yang memutuskan memilih soto ayam. Dan sepertinya, makanan itu akan menjadi favorit Husna seumur hidup.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang melintasi Jalan Ahmad Yani Surabaya, menuju Makam Sunan Ampel. Seperti pagi tadi, kali ini pun keduanya lebih banyak diam. Hingga, dering ponsel pada dashboard mengejutkan keduanya. 

Sontak Abid meraih ponselnya. Ia menurunkan kecepatan mobil. "Inggih, Ning?"

Rupanya itu telepon dari Salma. Ada perasaan lega sekaligus cemas yang kembali merayapi Husna. Apakah Abid akan memenuhi janjinya?

"Ning Salma." Abid meletakkan ponsel kembali pada dashboard setelah sambungan terputus. Intonasi suaranya tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Husna diam. Dia hanya memperhatikan bagian belakang pundak Abid. Sebab, hanya itu yang lurus dengan pandangannya saat ini.

"Katanya, sekarang tengah dalam perjalanan ke Ampel dari Pasar Kapasan. Dia tadi bilang bahwa sengaja ingin kulakan sendiri."

Lagi, tak banyak yang bisa Husna ucapkan ia hanya menjawab dengan oh pendek dan lirih. Kecemasan masih menghantui.

"Sepertinya, kampus yang Gus Ishak itu bukan yang kita datangi tadi. Jadi, nanti nggak perlu cerita kalau kita sempat mencari. Njenengan juga nggak perlu juga menceritakan kalau saya tahu soal Gus Ishak. Bilang saja kita cuma keluar cari makan siang."

***

Bagaimana mungkin Abid tidak kesal dengan perbuatan Salma? Tentu saja dia teramat kesal. Manusiawi. 

Titik BalikOnde histórias criam vida. Descubra agora