Lima Belas

206 31 13
                                    

Salma mendesah berat seraya menatap pantulan wajahnya pada cermin. Jelek sekali. Kempong seperti nenek-nenek. Ya, berat badannya memang turun drastis lebih dari setengah tahun ini. 

Terdengar suara langkah kaki khas yang diikuti ucapan salam. Suara Sofia. Hari ini mereka ada jadwal keluar untuk fitting pakaian pengantin. Sepertinya, kakak perempuannya itu masih berbasa-basi dengan Bu Nyai Saudah di ruang tengah.

Beranjak, Salma berniat keluar kamar menemui kakaknya. Dia ingin mengabarkan bahwa semalam Husna dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba pingsan.

Ah … perjodohan kusut ini akhirnya benar-benar memakan korban. Husna pingsan saat tengah menyetorkan hafalan. Tepat dua hari setelah kabar pernikahan Salma dan Abid tersebar. Benar, kan, Husna jatuh cinta pada Abid. 

Tapi, karena Salma tak sampai pingsan, bukan berarti dia tak patah. Sama. Sama sakitnya. Ia juga sempat malas makan, malas mandi, bahkan hampir gila karena menangis setiap malam memikirkan Ishak—dan saat menjelang Subuh ia mengompres matanya dengan air hangat agar ibunya tak curiga.

Berbagai usaha juga telah Salma lakukan. Bulan lalu, dia terhitung dua kali mengirim surat pada Abid melalui seorang kang dalem. Surat pertama, berisi permintaan Salma agar Abid mau bertemu. Tapi, tak ada jawaban. Hanya pesan dari kang dalem yang mengatakan bahwa Abid meminta maaf karena belum bisa mengabulkan. Surat berikutnya, berisi permintaan penjelasan mengapa Abid tega melaporkan Salma pada Kiai Mahrus dan ajakan bertemu kedua kali. Tapi, jawaban yang didapat hanyalah tulisan singkat berisi, "Maafkan saya, Ning. Tak elok bertemu saat kita masih belum menikah. Dan perihal kejadian di Surabaya, wallahi saya tidak pernah melapor kepada Abah Yai."

Lelaki yang sulit. Apa susahnya, sih, bertemu untuk membahas pernikahan? Dia bisa mengajak orang kepercayaannya. Lagipula, mereka juga tidak akan saling merayu, kan? Ini membuat Salma semakin frustrasi. Ia yakin bahwa hidupnya ke depan sudah dipastikan akan sangat mengerikan. Tapi, ia bisa apa? Sudah tak ada jalan kecuali menerima.

"Salma," panggil Sofia saat Salma masuk ruang tengah, "kayaknya kita tunda besok aja, deh, fitting-nya." Sofia yang sebelumnya berdiri dan mengobrol dengan Bu Nyai Saudah, mendekati adiknya.

"Baru aja aku mau ngomong yang sama."

"Jadi, kita ke rumah sakit dulu ya? Abuya dan Umma nyusul aja pas Husna sudah pulang." Sofia berbalik setengah badan ke arah ibunya.

Bu Nyai Saudah mengangguk. "Iya, boleh. Lagipula tadi Ammah kalian bilang mungkin Husna hanya perlu dirawat dua atau tiga hari saja."

Salma hanya mengangkat bahu malas. Ia lantas berbalik untuk kembali ke kamar. "Ya udah, aku ganti baju dulu."

Bagaimana Salma bisa bertemu Husna saat menjenguknya nanti? Selama ini, sebelum kabar pertunangan apalagi pernikahan tersebar, Salma tak bercerita sedikit pun pada adik sepupunya itu. Ia masih menaruh harap bahwa dia mampu membuat Abid membatalkan perjodohan mereka.

Empat puluh menit kemudian, Salma dan Sofia telah sampai di rumah sakit Kota Bangil. Ya, Husna memang sengaja dirujuk ke sana sebab lebih dekat dengan rumahnya.

Saat melangkah melewati lorong rumah sakit menuju kamar rawat, kembali ragu dan cemas menjalari Salma. Berkali-kali ia mengembuskan napas cepat dari mulut demi menghalau perasaan-perasaan itu. 

Lantas, ketika sampai di depan pintu kamar Husna, rasanya Salma ingin menghilang saja ke perut bumi agar bisa lari dari semua keruwetan yang telah menimpa mereka.

Satu helaan napas dalam bersamaan dengan langkah pertama masuk kamar perawatan. 

Husna duduk bersandar di ranjangnya. Wajahnya pucat dan kuyu. Dia menoleh pelan, lalu tersenyum menyambut kedatangan kedua sepupunya. 

Di sebelahnya, duduk Bu Nyai Fariha pada kursi plastik menghadap putrinya. Dan melihat kedatangan kedua keponakannya, beliau beranjak dan menyambut.

Salma dan Sofia langsung mendekati bibi mereka dan memberi salam hormat. Lantas, Sofia menyapa dan menyalami Husna, kemudian bergeser dan duduk pada kursi lain di sebelah bibinya. 

Sementara Salma menyapa Husna lirih, "Sudah baikan?" ia tak berani menatap adik sepupunya. Ia malah mengamati jarum infus yang menancap pada tangan kanan adik sepupunya. 

"Mbak Ning nggak apa-apa, kan?" Husna malah meraih tangan Salma dengan tangan kirinya dan menggenggamnya.

Rasanya, tenggorokan Salma seketika tercekat. Ia menggeleng seraya menatap adik sepupunya. Demi menahan sedih yang membuncah, ia menggigit bibir bawah bagian dalam. Air mata pun tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya. Cepat-cepat, Salma mendongak, memperhatikan langit-langit putih kamar rawat, lalu berkedip beberapa kali.

Ia ingin meminta maaf atas semua, tapi … tak mungkin mengatakannya secara gamblang, ada bibi dan kakaknya di ruangan ini. Karenanya, keduanya hanya saling bertatap dan mempererat genggaman masing-masing. 

Tanpa kata, Salma mengerti apa yang adik sepupunya ingin katakan. Ia ingin menghibur Salma. Husna selalu begitu, ia selalu mendahulukan orang lain daripada dirinya. 

Oh, Husna yang malang … kali pertama jatuh hati, harus seketika dibabat hingga menyisakan sakit tak terperi.

***

Salma tak bisa tinggal diam. Ini semua sudah keterlaluan. Jika dengan mengirim pesan secara sopan kepada Abid tak berhasil, masih ada satu jalan yang bisa Salma lakukan lagi. Meskipun mungkin, dengan cara sedikit lebih ekstrim.

Keesokan harinya, Salma memberanikan diri menelepon kepada calon mertuanya melalui ponsel Bu Nyai Saudah. Bu nyai memperkenankan ia menelepon meskipun di dalam kamar sendiri. 

Setelah berucap salam dan berbasa-basi sebentar, ia pun mengutarakan maksudnya, "Kulo, ingin meminta nomor kontak Mas Abid. Ini berkenaan dengan persiapan pernikahan."

"Oh, tentu saja. Akan Umi kirim. Sebentar ya?"

Tak lama setelah telepon terputus, sebuah pesan chat mendarat pada ponsel Salma. Ia berhasil mendapat kontak Abid.

Dengan harapan yang kembali berpendar, Salma menghubungi Abid. Tentu saja, calon suaminya itu terkejut. Tapi, ia tak punya waktu untuk memikirkan keterkejutan Abid. Urusan Husna jauh lebih penting.

"Maaf, saya tak punya cara lain lagi. Sampean tahu, kan, kalau Dik Husna sekarang tengah sakit? Dia sempat dirawat di rumah sakit."

Lama, tak ada jawaban. Arrgh … mengapa Abid begitu sulit? 

"Ehm … saya tahu. Tapi, apa hubungannya dengan saya?"

"Bisa nggak, sampean gak pura-pura bodoh?"

"Tapi, saya benar-benar nggak ngerti, Ning."

"Sampean nyadar nggak kalau Dik Husna itu suka sama sampean? Apa sampean akan tetap melanjutkan perjodohan ini?"

Lagi, hening dalam waktu lama, membuat Salma sangat geram.

"Halo … Mas Abid?! Halo?!"

"Iya, saya masih di sini," terdengar suara helaan napas, "Saya … nggak bisa mengecewakan Abah Yai dan Abi saya, Ning. Maaf."

Ya ampun … mengapa pemuda itu bisa sangat keras kepala, sih? Padahal sudah jelas dia juga menyukai Husna. Dia juga tahu bahwa Salma tak mencintainya. Apakah dia tak pernah berpikir bahwa ke depan ini bisa saja menimbulkan masalah.

Titik BalikWhere stories live. Discover now