Enam Belas

178 35 2
                                    

Salma merasa kesal. Ia harus berinai alias berhenna dengan pasta serbuk pacar asli. 

Huft, kuno sekali. 

Tapi, ini keputusan Bu Nyai Saudah yang diprovokatori Bu Nyai Farihah, ibu Husna. Padahal sebenarnya, dulu Salma ingin memakai henna sintetis putih saat menikah. Lebih elegan dan modern. 

Kekesalan Salma terhadap Henna, membuatnya kembali teringat pada Ishak. Menimbulkan ngilu pada hati yang belum sembuh. Alih-Alih Ishak, Salma mempersiapkan pernikahan dengan Abid, lelaki yang bertolak belakang dengan apa yang ia impikan. Dia sama saja dengan semua lelaki yang ada di sekitar Salma, Kriuk, garing, kaku. Terlebih lagi, sangat sulit. Rumit bin ribet.

Satu yang membuat Salma frustasi dan tertekan adalah … Husna jatuh hati pada Abid. Padahal, mereka adalah saudara sepupu yang saangat dekat. Hampir bagai belahan jiwa.

Rasanya, hidup Salma sudah tamat. Jadi, biar saja semua diatur dan diputuskan orang lain sekalian.

"Ning …" panggilan lirih seorang Mbak Dalem membuat Salma seketika menoleh. Ia yang duduk bersila di ranjang seraya memangku bantal, segera menegakkan punggung.

"Ini jamunya …" Santri perempuan itu berjalan pelan, sedikit menunduk takzim. Ia menyodorkan nampan kecil yang berisi segelas minuman berwarna kuning kecokelatan.

Hadeuh … jamu lagi, batin Salma. Seperti biasa, jam sembilan pagi jadwal Salma untuk minum jamu. Dan nanti bakda Isya adalah jadwal kedua.

Ia mengangkat kedua tangannya yang masih dipenuhi lukisan dari pasta henna yang masih setengah kering. Ia menenglengkan kepala seraya tersenyum miring. Tadi, seorang henna artist telah memakaikan henna hingga hampir ke siku.

"Tapi, Bu Nyai menitahkan bahwa minuman ini harus langsung dihabiskan." 

Salma memutar bola mata. Ia beringsut dari ranjang, mendekati santri perempuan berbaju kurung hijau itu. "Bisa tolongin, kan?" Salma memajukan badan ke arah santri perempuan itu.

"Inggih," ujar Mbak Dalem itu seraya meletakkan nampan pada ranjang dan membantu Salma meminum jamunya.

Lebih dari sebulan terakhir, Salma harus melakukan berbagai ritual persiapan pernikahan. Ia harus memakai lulur tradisional kuning merepotkan setiap kali mandi. Meminum jamu khusus yang entah apa selama dua minggu terakhir. Melakukan penguapan badan bahkan organ intim—dan hal ini sangat menyiksa Salma. Ia bergidik ngeri jika mengingat apa tujuan ritual ini. Semuanya tak boleh dilewatkan. 

Dan jamu ini, Salma pernah ketahuan membuangnya sekali. Ini membuat Bu Nyai Saudah mewajibkan mbak dalem yang mengantar untuk memastikan bahwa Salma benar-benar meminumnya.

Salma kembali duduk bersila, sementara Mbak Dalem tersebut membantu mengembalikan bantal ke pangkuannya. Ya ampun … pasta henna ini sangat merepotkan.

"Salma …" suara Bu Nyai Farihah mengejutkan Salma. Ia seketika berusaha beranjak, tapi bibinya cepat-cepat melarang, "... duduk saja, Nak. Ndak perlu salaman. Ammah cuma mengantar Husna."

Mbak Dalem itu sudah pamit pergi ketika tugasnya sudah selesai.

Tampak Husna berdiri di belakang bibinya. Ia melambai kecil dan tersenyum manis. 

Bahagia rasa hati Salma melihat sepupunya. Husna sudah baikan. Beberapa hari lalu, dia harus kembali dirawat di rumah sakit. 

Husna yang malang. Dia berusaha sekuat tenaga menahan perasaannya. Tapi, tubuhnya bereaksi lain. Lagi-lagi, asam lambung naik dengan cepat.

"Dik Husna sudah baikan?" tanya Salma senang.

Husna mengangguk seraya tersenyum. Ia duduk di sebelah Salma. Gadis pendiam itu masih tampak pucat. Apalagi dalam balutan gamis abu-abu polos dengan hijab polosnya. Ah, Husna …

"Sudah tiga hari ini. Dia hanya sehari semalam di rumah sakit. Entahlah, asam lambung lagi. Memangnya dia malas makan kalau di sini?"

Salma menggeleng. "Mungkin karena pelajaran berat, Ammah. Dik Husna juga, kan, sudah kelas dua muallimat. Apalagi dia mau khataman alfiyah tahun ini katanya. 

Satu cubitan kecil Husna menandakan protes kecil terhadap keterangan Salma barusan.

"Bagus hennanya," Bu Nyai Farihah memeriksa telapak tangan Salma, "zaman sekarang sudah mulai jarang yang berinai dengan bubuk daun pacar asli. Kebanyakan pakai yang sintetis. Bahkan, ada yang putih." Dia berdecak lalu berbalik untuk menarik kursi dan duduk di atasnya. "Henna sintetis itu jelek. Cepat luntur. Apalagi yang putih. Padahal, tujuan berhenna, kan, memanjakan pasangan."

Salma tersentak. Ia mengerutkan dahi menatap bibinya. Memanjakan pasangan? Ya ampun … frasa itu entah sudah berapa ribu kali Salma dengar sejak urusan pernikahan menjadi padat begini. Berlulur, meminum jamu, beruap, bahkan sampai berhenna, semua demi memanjakan … Abid. Yang benar saja?

"Henna itu bisa menambah gairah suami," ujar Bu Nyai Farihah seraya mengulum senyum. 

Sementara itu, Salma seketika mual sekaligus merasa hatinya tercubit. Ngilu. Refleks, ia menatap Husna yang juga menatapnya. Salma merasa bahwa dia bisa mengerti jelas makna di balik tatapan saudara sepupu tersayangnya. 

Tapi, demi adab kesopanan, ia segera berpaling dan kembali memperhatikan bibinya. Ia tersenyum datar menanggapi kalimat itu.

Untuk beberapa menit, Bu Nyai Farihah berbasa-basi sekaligus memberi nasehat pernikahan. Nasihat-nasihat yang semakin membuat Salma sakit. Tapi, ia berusaha menahannya. Pastinya, Husna juga.

Pada akhirnya, Bu Nyai Farihah meninggalkan Salma berdua dengan Husna. Katanya, biar bisa mengobrol santai sebab setelah menikah, momen-momen bersama saudara begini, akan semakin langka. 

Oh … mengerikannya pernikahan, batin Salma.

"Mbak Ning baikan?" tanya Husna lembut yang membuat hati Salma seketika ngilu. 

Husna yang sangat lembut, mengapa malah menanyakan keadaan Salma? Bukankah dia sama menderitanya?

"Dik, harusnya aku yang nanya keadaan sampean. Aku juga harusnya minta maaf atas semua kekacauan ini." Salma menatap sepupunya lekat-lekat. 

Mata kecokelatan sayu Husna mulai berkaca-kaca. "Mbak Ning … saya nggak apa-apa." Husna tersenyum lembut.

Ingin rasanya Salma memutar waktu, lalu ia akan berbuat hal yang lebih baik, berhenti melakukan kecerobohan dan kebandelan-kebandelan itu.

"Semua akan berlalu," lanjut Husna, "Bukankah ustadzah sering menasihati kita? Dunia ini fana. Suka, duka, sakit, senang, hanya hawadits yang akhirnya pasti kembali adam. Lenyap," ujar Husna dengan suara bergetar. 

Dia kini bisa mengucapkan kalimat yang panjang. Bagaimana Husna bisa melakukannya kalau bukan karena tekanan jiwa yang teramat dahsyat? Setitik bening menetes di ujung mata Husna.

Salma menggigit bibir bawahnya. Ia seketika mencondongkan tubuh dan berusaha memeluk saudari tersayangnya. Meskipun, kesulitan sebab pasta henna.

Dadanya sesak. Hatinya terasa ngilu. Mereka kini terjebak jeratan takdir kusut yang entah kapan bisa terurai. 

"Mbak Ning … kita berusaha ikhlas, yuk?" 

Usapan lembut tangan Husna pada punggung Salma membuat air mata tak lagi terbendung. Salma terisak.

"Mbak Ning … yang ikhlas, ya? Bukankah terkadang manusia begitu membenci sesuatu padahal baik untuknya? Sebaliknya, sangat memuja sesuatu yang ternyata buruk baginya. Kita serahkan saja pada Allah."

Salma tak mampu berkata-kata. Tekanan kuat membuat Husna berubah. Sakit, pastinya sakit.

"Iya, Dik. Maafkan aku … Maafkan aku."

Salma sangat menyesali perbuatannya. Tapi, ia masih belum bisa benar-benar menerima semua ini. Cintanya kepada Ishak terlampau dalam.

Titik BalikWhere stories live. Discover now