Dua Puluh Lima

205 31 16
                                    

Ketidakberesan apa yang telah terjadi? Batin Abid terus bertanya-tanya manakala ia sampai di ruang mutholaah ayah mertuanya. Pasalnya, kali ini bukan hanya Kiai Mahrus saja yang telah menunggunya, tapi Bu Nyai Saudah juga ikut duduk pada kursi di sebelah sang suami.

Meskipun keduanya seketika tersenyum ramah saat Abid tiba, tapi ekspresi cemas tetap tak bisa tersamarkan sepenuhnya.

Perlahan dan penuh takzim, Abid berjalan memasuki ruangan. Ia duduk pada kursi seperti biasa setelah sang ayah mertua langsung mempersilakannya.

"Sampai  kapan jam kosongnya, Nak?" tanya Kiai Mahrus kemudian.

"Satu jam, Abuya. Nanti setelah istirahat pertama, kulo ada jam mengajar lagi."

Kiai Mahrus mengangguk-angguk. "Jadi, kita punya waktu sampai jam setengah sepuluh. Kalau memang butuh yang lebih lama, biar Abuya yang menghubungi pihak TU agar dicarikan guru pengganti sementara untuk satu jam itu."

Abid menjawab dengan inggih lirih. Penasaran dalam hatinya kian menjadi-jadi. Sebab, jika bukan hal penting, tidak mungkin sang mertua sampai mengorbankan satu jam pelajaran hanya untuk masalah pribadi.

"Abuya langsung saja, ya, Nak Mas." Kiai Mahrus menghela napas dalam. Ia bahkan sempat memejam rapat. Tampak jelas ekspresi cemas di wajahnya.

Bu Nyai Sudah pun menoleh sesaat, menatap suaminya dengan ekspresi tak kalah khawatir. Pasti ada yang tidak beres.

"Jadi, ini tentang Salma," lanjut Kiai Mahrus kemudian yang sontak membuat Abid tersentak. Tapi, ia mencoba bersikap tenang, "sudah berapa lama dia tidur di lantai atas?"

"S-sudah lama, Abuya. Sekitar dua atau tiga minggu."

Kedua mertua Abid seketika beristighfar hampir bersamaan. Bahkan, Bu Nyai Saudah menutup mulut dengan kedua tangan.

"Sebenarnya, ada maslah apa di antara kalian?" tanya Kiai Mahrus kemudian.

Kini, Abidlah yang semakin kebingungan. Memangnya, mereka ada masalah? Salma tidur di lantai dua hanyalah demi kepentingan belajar. Bukan ada masalah.

"Boten wonten masalah," Abid mengernyit seraya menatap kedua mertuanya bergantian, "Ning Salma tidur di lantai dua hanya karena mau ujian. Katanya, dia menang suka di sana. Belajar sambil melihat bintang. Membuat kepala adem dan pelajaran gampang ingat."

Kiai Mahrus mendesah samar, sementara Bu Nyai Saudah kembali beristighfar lirih sambil menggeleng.

"Kamu percaya?" tanya Kiai kemudian.

Abid mengangguk dan mangiakan tanpa ragu. "Ning Salma selama ini tidak pernah bersikap aneh. Dia bersikap normal. Tetap dengan rutinitas biasa," jawab Abid seraya mencoba mengingat-ingat apakah ada sikap aneh terjadi pada istrinya akhir-akhir ini.

Tidak ada, Abid sama sekali tak mampu mengingat hal ganjil yang dilakukan Salma. Terlepas dari hubungan badan yang sudah tak pernah dilakukan sejak Salma mengeluh sakit dan tak nyaman, ia bersikap normal. Tetap membuatkan kopi di pagi hari, dan tetap makan bersama setiap datang waktu makan.

Kecuali ... Ah, Salma sangat melekat pada ponsel. Tapi, mungkin saja itu hanya sebab dia sangat senang. Bayangkan saja, perempuan seperti Salma tanpa ponsel selama lebih dari setengah tahun sebelumnya, lalu dia mendapatkannya lagi.

Kiai Mahrus tertawa kecil. "Salma sepertinya menyembunyikan suatu rahasia. Kami harap, Nak Mas jangan membiarkan lagi Salma tidur sendiri di lantai atas."

"Sendiri?" Abid terperanjat.

"Iya. Sendirian. Umma kamu juga baru tahu dua hari lalu," Kiai Mahrus mengalihkan padangan pada sang istri, "bukankah begitu, Umma?"

Bu Nyai Saudah mengangguk. "Iya. Itu Umma ketahui soalnya mau hujan, kok, Salma malah masih betah di balkon. Umma keluar dengan maksud menyuruhnya masuk. Eh, ternyata dia sedang menelepon. Anehnya, suaranya itu, lo, bisa pelan sekali. Kayak bukan Salma."

"Benar," sambung Kiai Mahrus, "biasanya suara Salma itu keras."

"Nah, Umma tanya, dia ndak ngaku. Ya, sudah, Umma tinggal. Tapi karena perasaan Umma ndak enak, pas sekitar jam sebelasan, Umma naik ke lantai dua lagi. Ternyata dia pindah ke dalam dan tidur di sofa. Tetap masih menelepon dengan suara pelan sekali."

Tak bisa dipungkiri lagi, perasaan bersalah segera menguasai hati Abid dan menggerogotinya dengan cepat. Bagaimana mungkin ia bisa selalai itu? Jika yang dilakukan Salma merupakan kemungkaran, betapa dosa itu juga yang akan menjadi tanggung jawabnya. Pun begitu, jelas ia telah mengecewakan gurunya.

Terlebih lagi, Bu Nyai Saudah sempat menanyakan perihal jamu. Ternyata, berhentinya kiriman jamu dikarenakan permintaan Salma yang mengatakan bahwa Abid tidak menyukainya. Padahal, bukan seperti itu yang ia ketahui dari Salma kemarin.

***

Setelah berpikir mendalam tentang bagaimana ia akan mengatasi masalah keresahan mertuanya, Abid mengambil sebuah keputusan yang akan dia lakukan mulai malam ini.

Seperti biasa, seusai jemaah Isya, Salma sudah bersiap-siap dengan kitab-kitab dan bantalnya. Abid baru masuk ke kamar.

"Sisa seminggu untuk ujian tulis, ya?" tanya Abid seraya melepas peci dan menggantung sajadahnya.

"Iya. Tapi, kan, setelahnya ada ujian praktik dan membaca kitab." Salma sudah melangkah. Sepertinya ia terburu-buru keluara kamar.

"Ning, tunggu!" ujar Abid seraya mendekati Salma.

Berbalik, Salma menghentikan langkah. "Iya. Ada yang dibutuhkan?"

Abid menggeleng. Ia tersenyum, menatap Salma lekat-lekat. Lantas seketika memeluk istrinya dan berbisik, "Saya kangen."

Sontak Salma terkejut. Ia seketika meronta. "A-anu. Saya harus segera belajar." Ia seketika berbalik dan langsung menghilang di balik pintu. Dengan langkah terburu-buru.

Ah, ternyata, meskipun Abid belum benar-benar mencintai Salma seutuhnya, tapi penolakan tadi sangat melukainya. Melukai harga diri lebih tepatnya.

Abid menghela napas dalam, berusaha menghalau perih hatinya. Lelaki tanpa kecemburuan merupakan seburuk-buruknya lelaki. Syukurlah, ternyata ia masih memiliki segunung cemburu terhadap sikap Salma.

Demi agar tak terjadi hal tak diinginkan—semisal perselisihan kecil—Abid memutuskan untuk bersabar. Ia akhirnya berangkat ke asrama asatidz untuk muthalaah sekaligus membantu mengawasi para santri yang tengah berkegiatan belajar malam. Lantas sekitar jam sepuluh, ia kembali ke ndalem. Abid akan melaksanakan rencana selanjutnya.

Ya, sekali Salma menolak, seribu cara pasti akan Abid lakukan, terlebih lagi, tadi kedua mertuanya juga mengingatkan kembali perihal momongan. Abid adalah seorang suami yang bertanggung jawab terhadap segala perbuatan Salma.

Setelah mengembalikan kitab dan berganti pakaian dengan sarung tenun santai dan kaos pendek hitam, Abid membawa bantal dan selembar selimut keluar kamar. Kali ini, ia akan menemani Salma di lantai dua.

Perlahan, Abid menaiki tangga menuju ruang keluarga. Sebelumnya, ia sempat berpapasan dengan Bu Nyai Saudah. Mertua perempuannya sempat mengabari bahwa Salma memang tengah sendiri di lantai dua. Sementara itu, mertuanya sengaja tak menegur.

Rupanya, Salma telah berpindah ke sofa. Ia tengkurap seraya menatap ponsel. Hijabnya telah ditanggalkan. Sepertinya, ia melakukan panggilan video menggunakan wireless earphone. Itulah mengapa, ia tak menyadari kedatangan Abid.

Perlahan, Abid meletakkan bantal dan selimutnya pada lantai berlapis karpet. Ia berjalan mendekati Salma. Jika ia bisa mendapati hal tak beres, itu bisa menjadi alasan untuk melarang Salma memiliki ponsel.

Tapi sial, saat Abid melangkah mendekat, kakinya tak sengaja menginjak sendok plastik yang tergeletak di lantai, menimbulkan bunyi gemeretak yang seketika mengejutkan Salma.

Sontak, Salma menoleh dan beranjak. Saat melihat sang suami, ia seketika menyembunyikan ponselnya. "Mas, ngapain?!"

Titik BalikWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu