Selama dua tahun terakhir, jejak langkah Kadita hanya seputar makam sang bunda. Baru-baru ini, dia menambahkan mini market dalam daftar baru perjalanannya. Bukan suatu hal yang mudah baginya berpergian meninggalkan rumah. Apalagi, sebelum pandemi terjadi, Kadita memang tidak menyukai keramaian.
Bagi beberapa orang, menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam setelah tidak bisa kemana-mana selama dua tahun terakhir, merupakan anugerah. Layaknya seekor burung yang lepas dari sangkarnya. Mereka bisa melihat tempat yang sudah lama tidak dikunjungi, menjalin silaturahmi tanpa perantara gawai, serta memulai lagi usaha atau pekerjaan baru.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi Kadita. Semakin jauh mobil Gayatri bergerak meninggalkan kota kelahirannya, maka semakin berdebar pula jantungnya. Entah sudah berapa kali dia membetulkan posisi duduk, mengelap keringat di pelipis, bahkan terkejut saat beberapa mobil mendahului kendaraan yang ditumpanginya.
"Udah lama gak lewat jalan tol, ya?"
"Eng, memang jarang. Sebelumnya."
"Bukannya kamu pernah ke luar negeri, kan?"
Kadita mengangguk pelan. "Tapi, aku jarang kemna-mana. Tokyo sangat ramai. Melihat orang-orang berjalan dari jendela kamar hotel saja ... apalagi sekarang."
"Tapi, kamu sudah lebih baik dari sebelumnya, Kadita." Gayatri melirik sekilas pada kawan bicaranya. "Mau istirahat dulu di area peristirahatan?"
Kadita menggeleng. "Aku sudah merepotkanmu, Kak. Maaf."
Gayatri terkikik. "Gak masalah, Say. Lagipula aku sekalian pulang ke Jakarta."
Kadita menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. Wanita itu berpikir, kalau memang ini perjalanan pulang Gayatri, artinya dia pulang ke Bandung sendirian. Memikirkannya saja sudah membuat Kadita mual.
Gayatri melirik Kadita, lalu menyunggingkan senyuman lebar. "Tenang ... aku anter kamu balik ke Bandung, kok. Gak mungkin juga aku ngebiarin kamu naik kereta api atau mobil travel sendirian."
"Terima kasih," sahut Kadita lirih.
"Tapi, mungkin nanti kita pulang di antar sama sopirku, gak apa-apa?" tanya Gayatri meminta persetujuan Kadita. "Soalnya ada beberapa berkas yang harus aku periksa dan kerjakan dalam perjalanan. Lusa aku ada pertemuan dengan seniorku di Bandung. Jadi-"
"Ka-kalau gitu, seharusnya Kakak tidak perlu menawarkan untuk mengantarku ke Jakarta," potong Kadita.
Gayatri tertawa geli. "Kamu mau jadi adikku gak? Kamu lucu soalnya. Diam-diam bisa merajuk juga."
"Merajuk?" tanya Kadita seraya mengerutkan dahi.
"Oh, maaf. Jadi, merajuk itu seperti yang kamu lakukan tadi. Ngambek."
"Maaf, Kak."
"Udah ... gak usah dikit-dikit minta maaf. Gak selalu kamu yang salah, Kadita," sahut Gayatri sambil tersenyum. "Pemberitahuan pertemuannya baru saja, kok. Sementara berkas-berkasku memang ada di kantor Jakarta. Jadi, kamu gak perlu merasa bersalah seperti itu. Karena memang kamu gak salah."
YOU ARE READING
COPY PASTE [Terbit, 2023]
Romance[JUARA 2 TEMA MENTAL HEALTH GMGWRITERS 2022] Blurb: Kehidupan Kadita kerap diliputi oleh berbagai kecemasan hingga membuat ia takut untuk bersentuhan dengan dunia luar. Apalagi sejak kematian sang ibu dua tahun lalu akibat terjangkit virus Corona, s...