7. Help Me, Please

276 67 7
                                    

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu memperkirakan cuaca dengan tepat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu memperkirakan cuaca dengan tepat. Meskipun ahli meteorologi sudah menganalisa berdasarkan data di lapangan serta memperhatikan tanda-tanda pada umumnya, tetapi tetap saja bisa meleset. Sama seperti hari ini.

Menurut prakiraan cuaca tadi malam, hari ini akan turun hujan yang cukup deras. Senyum di wajah Kadita sempat merekah saat mendengarnya dan belakangan lenyap ketika melihat langit cerah keesokan harinya. Melakukan perjalanan kala sang mentari bersinar cerah, hanya akan bermuara pada satu hal: suhu panas. Itu berarti ada kemungkinan mereka menghentikan kendaraan di area peristirahatan.

"Kadita, kenapa?"

Kadita mengembuskan napasnya, lalu berbisik, "Bisa tidak kita seperti kemarin, langsung ke tempat tujuan."

Gayatri terkikik. "Gak bisa, Kadita. Sopir keluargaku butuh beberapa kali istirahat. Setidaknya bisa dua kali."

Kadita menunduk.

"Usia beliau udah gak muda lagi, Kadita," bisik Gayatri.

"Iya, maaf, ya, Miss Kadita," sahut seorang pria berusia di usia penghujung paruh baya, dari balik kemudi.

Kadita menautkan kedua tangan, lalu meremasnya.

"Gak usah cemas. Pak Soleh gak, kan tersinggung. Iya, kan, Pak?"

"Iya, Miss," jawab Pak Soleh. "Saya ijin istirahat dulu di tempat peristirahatan itu, ya, Miss. Saya mau ke kamar kecil dulu."

"Iya, Pak," sahut Gayatri yang kembali menekuri layar laptopnya. Banyak berkas yang masih harus dia cek ulang. Apalagi, simposium kali ini akan dihadiri oleh seniornya, Cakra Tsukumo. Seorang psikolog forensik keturunan Jepang yang menekuni berbagai macam kecenderungan psikologis akibat trauma. Bidang yang akan ditekuni oleh Gayatri, jika saja kejadian rudapaksa itu tidak terjadi.

"Miss, ada Kejora Coffee di sana."

Gayatri mengangkat wajahnya dari layar laptop. "Wah, boleh juga. Kadita, mau beli kopi?"

Kadita mengerjapkan kedua matanya. "Maksud Kakak ... kita turun dan ke sana?"

Gayatri mengangguk. Wanita yang mengikat sebagian rambutnya dengan pita berwarna merah muda itu, melihat keadaan tempat hendak dituju lewat kaca jendela mobil. "Kayaknya sepi, deh. Turun, yuk!"

Kedua tangan Kadita saling meremas lagi. "Kalau aku di sini saja ... tidak apa-apa, Kak?"

"Sendirian?"

Kadita memperhatikan sekitarnya dari balik jendela. Kecemasannya bertambah, saat mengetahui banyak mobil terparkir di kanan dan kiri kendaraan yang ditumpanginya. Tampaknya jauh lebih banyak daripada orang yang mengunjungi Kejora Coffee. "A-aku ikut turun."

Gayatri yang sedang membuka pintu mobil, tertegun. Dia berpaling pada Kadita. "Yakin?"

"Yakin, sih."

"Kalau kamu memang yakin, jawabnya pakai 'dong', bukan 'sih," ujar Gayatri dengan senyuman. "Kalau pakai 'sih', artinya kamu masih meragukannya."

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now