20. Lean on Me

203 53 22
                                    

Sejak kecil, Sinta—ibunda Kadita—selalu membacakan dongeng pada sang anak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sejak kecil, Sinta—ibunda Kadita—selalu membacakan dongeng pada sang anak. Tidak pernah sekali pun beliau absen dari melakukan kegiatan itu. Alhasil, Kadita jadi lebih cepat menyerap ribuan kata yang membantunya mahir berbicara di usia 1,5 tahun. Setelah bisa membaca tidak hanya buku dongeng anak-anak saja yang dilahap, tetapi juga novel milik Sinta.

Saat berusia 10 tahun, Sinta memberikan sebuah novel fantasi sebagai hadiah ulang tahun Kadita. Anak perempuan yang rambutnya selalu dikuncir kuda itu menjadikan serial novel tersebut sebagai salah satu buku favoritnya. Menjelang usia sekolah menengah pertama, beberapa kutipan dari buku itu dia jadikan sebagai pelecut semangat dalam menjalani hidup. Namun, seiring bertambahnya usia kalimat-kalimat itu dianggap sebagai omong kosong.

Kadita menyadari, bahwa kenyataan tidak seindah kisah dalam novel fiksi. Tak ada kutipan yang bisa diterapkan dalam kehidupannya. Namun, saat pintu huniannya digedor berulang kali, sebuah kutipan dari buku favoritnya terngiang. Dia harus bisa keluar dari situasi tak menyenangkan ini dengan melakukan hal yang selama ini dihindari: menghubungi tetangga.

Satu kali nada sambung terdengar, tetapi sang pemilik nomor tidak juga mengangkat panggilan Kadita. Wanita itu nyaris putus asa. Sementara itu, ketukan keras masih terdengar.

"Ya?"

"To-tolong aku."

Tidak berapa lama setelah Kadita mematikan sambungan telepon, suara ketukan keras itu pun berhenti. Diiringi jantung yang berdebar, kedua kaki Kadita mencoba menopang berat tubuhnya. Tertatih dia menghampiri pintu dan mengayunkannya ke dalam. Sosok pria yang suaranya terdengar di telepon tadi, kini ada di depannya dengan pandangan penuh tanya.

"Maaf, gue tadi lagi di kamar mandi. Kamu ... hey!" Langit terkejut saat melihat badan Kadita yang melorot begitu saja ke lantai. "Kamu kenapa? Abis lihat hantu?"

Kadita menggeleng dengan air mata yang mulai mengalir. Kecemasan kembali menyelimuti dirinya, hingga dia tidak menyadari ada sebuah tas kertas berwarna cokelat di sebelahnya.

"Atau ada kecoak? Tikus? Biar Raga aja yang tangkep kalo itu."

"Ra-ga?"

Langit mengangguk. "Kucing gue," Langit menoleh pada pintu huniannya yang terbuka lebar. Seekor kucing Ragdoll berdiri diam memperhatikan dua manusia yang ada di sana. Langit kembali menatap Kadita. "Kamu gak takut kucing, kan?"

Kadita menggeleng.

Tiba-tiba saja Raga mengeong dan berlari menghampiri sepasang sandal kamar yang berjalan menuju hunian Kadita. Sang pemilik sandal itu langsung mengangkat tubuh Raga, menggendong, dan menggaruk-garuk tengkuk kucing bermata biru tua itu. "It was so noisy! Aku nggak bisa kerja."

"Berisik? Siapa yang berisik?" Langit menoleh pada Arjuna.

"Kamu nggak denger? Ada orang gedor-gedor pintu dia," jawab Arjuna seraya menatap tajam Kadita.

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now