17. Final Decision

221 49 12
                                    

"Pikirin lagi, kalo kamu pulang ke Bandung, mau tinggal di mana? Untuk sehari-hari, kamu gimana? Mau kerja atau usaha apa?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Pikirin lagi, kalo kamu pulang ke Bandung, mau tinggal di mana? Untuk sehari-hari, kamu gimana? Mau kerja atau usaha apa?"

Kadita mengembuskan napas dalam perjalanan menuju Teak 8 Condominium. Perbincangannya dengan Gayatri, membuat wanita yang mengenakan baju hangat berwarna hijau tua itu memikirkan kembali keputusan yang dibuat. Dia bimbang, khawatir salah mengambil keputusan.

Sejauh ini, kehidupan baru di Jakarta cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski seminggu kemarin masih dalam masa percobaan, perusahaan memberinya uang makan dan transportasi. Dia bisa tidur nyaman. Namun, kini Kadita khawatir kenyamanannya terganggu setelah mengetahui ketiga pria—yang akhir-akhir ini berseteru—ternyata bertetangga dengannya.

Bertemu mereka di kantor saja, sudah membuat kecemasannya bertambah. Kini mereka tinggal di hunian yang sama. Mengelak sudah tidak memungkinkan. Apalagi, unit mereka bersebelahan dan menggunakan lift yang sama. Kadita tak yakin dirinya akan tetap waras menghadapi mereka.

Akan tetapi, kembali ke Bandung bukan pilihan mudah. Kadita sudah tidak memiliki tempat berlindung. Rumah yang selama ini jadi tempat berlindung, sudah berganti penghuni. Pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas pun sudah tidak dilakukan lagi. Bahkan, sudah ada orang lain yang menggantikan posisinya dahulu.

"Baru tinggal di Jakarta, Mbak?" tanya sopir mobil yang dinaiki Kadita.

"I-iya."

"Wah, baru tinggal di Jakarta udah bisa punya rumah di Teak. Mantep itu, Mbak." Sang sopir menatap Kadita dari spion belakang. "Kerja di mana, tho, Mbak?"

"Nawang Wulan."

"Wah ... Mbak-nya ini beruntung banget, yo. Orang cerdas, iki. Jadi, opo, tho, Mbak?"

"Desainer grafis."

"Itu ngapain, tho, Mbak?"

"Edit ganbar. Bikin iklan."

"Oalaaah! Hebat! Mbak-nya berbakat pasti ini. Wah, hebat ... hebat .... Saya aja udah hampir dua puluh tahun di sini, tapi ya ... hidup gini-gini aja, Mbak. Mandeg. Gak berubah." Sang sopir menyalakan lampu sein kanan, lalu berbelok menuju jalan besar menuju Teak 8. "Mbak-nya udah nikah?"

Kadita menggeleng. "Belum."

"Wah, masih sendiri, tho. Kalo masih sendiri tinggal di Jakarta, enak, Mbak. Gak banyak tanggungan. Mikir diri sendiri, tok. Beda sama saya, Mbak." Sopir pun memelankan laju kendaraannya saat gedung Teak 8 Condominium tampak di hadapan. "Anak saya tiga. Yang besar kuliah gak jadi, Mbak. Gak ada biaya. Jadi, bantu saja ngojek. Mbak-nya ini beruntung. Jadi, nikmatin aja yang Tuhan kasih sama Mbak-nya."

Kadita merasakan kendaraan yang ditumpangginya berhenti. Lobi bernuasa industrial itu terlihat ramai. Mungkin karena akhir pekan, banyak orang yang hendak menikmati malam. Kadita mengambil dompet dari dalam tas dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. "Ini, Pak."

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now