15. Surprise!

217 53 16
                                    

Bagi Kadita, alam jauh lebih memahami dirinya ketimbang manusia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagi Kadita, alam jauh lebih memahami dirinya ketimbang manusia. Meski mereka tidak menjawab, tetapi rasa sesaknya bisa berubah jadi lega. Menatap langit luas, membuat dia menyadari betapa kecil dan remeh permasalahan yang dihadapi. Walau terkadang Kadita melupakan hal tersebut.

Di setiap rumah yang dia tinggali, sang bunda selalu membuatkan tempat untuk Kadita menyapa ciptaan Tuhan. Terakhir, wanita berusia awal 30-an itu memiliki dak rumah yang bisa dia kunjungi dari kamarnya. Kendati kecil, tetapi tetap jadi salah satu tempat kesukaan Kadita untuk menenangkan diri.

Beruntung, gedung tempat dia bekerja memiliki atap yang bisa dikunjungi. Tidak ada satu pun karyawan yang mengunjungi lantai paling atas ini. Padahal, tempat ini menyuguhkan pemandangan bangunan yang saling berlomba menutupi langit kota Jakarta. Bahkan taman yang terdapat di tengah kungkungan gedung perkantoran, terlihat lebih cantik dari sini.

Sejak perdebatan dua orang yang memiliki kuasa di Nawang Wulan itu terjadi, Kadita sering menghabiskan waktunya di sini. Terutama bila mulut tajam Arjuna tidak mampu memperbaiki keadaan, setelah dirinya ditegur keras oleh Arya.

Beberapa hari terakhir—menjelang tujuh hari masa percobaannya sebagai karyawan baru—ada saja kesalahan yang dibuat Kadita di mata Arya. Padahal, pekerjaan itu sudah lolos dari pemeriksaan Langit. Tak jarang, sang CMO mendatangi ruangan Arya untuk menegur pria yang tinggi badannya tak berbeda jauh dengan dirinya. Kadita yang membutuhkan dukungan moril, justru mendapat perkataan sinis serta tajam dari Arjuna. Wanita itu tidak bisa mengadu pada siapapun. Kecuali alam.

Semilir angin yang menyentuh pipi Kadita, seumpama belaian sang bunda kala wanita itu membutuhkan dukungan. Cahaya mentari ikut menghangatkan kedua ujung jarinya yang dingin, akibat teguran keras lain dari Arya. Sementara angkasa, terus mengingatkan dia bahwa permasalahan yang sedang dihadapi itu kecil. Belum seberapa dibandingkan semesta yang terbentang di atasnya.

Kadita berusaha menenangkan deru napasnya, sebelum kembali ke medan perang. Berjibaku dengan segala pekerjaan yang diperintahkan langsung oleh Arya. Saat dirasa sudah cukup baginya untuk menguasai diri kembali, Kadita melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Namun, langkahnya terhenti sesaat setelah melihat sebuah tas karton berwarna cokelat muda.

Sebuah kertas kecil hasil tulisan komputer, mencetak nama dirinya di sana. Tak hanya itu, sang pengirim juga mengingatkan Kadita untuk tidak lupa makan dan tidak patah arang menghadapi Arya. Saat wanita berjari lentik itu membuka tas, sepotong kue tiramisu dan matcha ada di sana. Bahkan, dilengkapi dengan sebotol karamel macchiato. Meski sempat ragu, Kadita membawa tas itu bersamanya menuruni tangga. Tanpa dia ketahui, sosok pengirim tas itu memperhatikan dari tempatnya bersembunyi seraya tersenyum.

***

"Bagaimana, Bu? Sudah bisa beradaptasi di sini?" tanya pak Gerald, sesaat setelah rapat yang cukup membakar amarah Arya selesai. "Sore ini Ibu akan diantar ke tempat tinggal yang baru. Tenang saja, semua perabotan utama sudah ada di sana."

Kadita tertegun setelah mendengar perkataan pria berusia 40-an itu. Dia jadi teringat beberapa barang bawaannya yang masih berada di aparthotel¹, tempatnya tinggal selama ini. "Ta-tapi barang saya masih di tempat yang sekarang."

"Bisa menyusul, Bu. Ibu bawa yang diperlukan saja, sisanya bisa esok hari diambil lagi."

"Be-berapa sewanya?"

"Fasilitas kantor, Bu. Ada karyawan yang ambil mentahnya, ada yang unitnya kami sewakan. Jadi, Ibu tahu beres saja."

Setelah meninggalkan ruang rapat, Kadita memilih turun menuju lantai 8 menggunakan tangga darurat. Beruntung, sisa hari itu sang CEO tak menampakkan batang hidungnya lagi. Saat mentari perlahan mulai bersembunyi, Kadita sudah berada di dalam mobil perusahaan yang membawa dirinya ke tempat tinggal baru.

Lampu jalan sudah menyala, kala Kadta tiba di sebuah bangunan yang menjulang tinggi ke langit. Melebihi kantor tempat Nawang Wulan berada. Pendaran sisa senja, memantul pada tiap sudut gedung yang berlapis kaca. Sementara nuansa industrial terasa kental sejak Kadita memasukki lobi.

Beruntung, gedung itu tidak memiliki pintu putar. Bahkan, seorang petugas keamanan dengan senang hati membukakan pintu kaca lobi untuk Kadita.

"Ini Mbak Ninuk, salah satu karyawan Teak 8 Suites. Kalau Ibu perlu bantuan, bisa menghubungi beliau," ujar pak Gerald seraya mempertemukan Kadita dengan seorang wanita muda berambut hitam sebahu yang tersenyum ramah. "Saya antarkan ke unit, Ibu. Sementara, kata sandi unitnya masih standar, satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Nanti bisa Ibu ganti sendiri. Mari kita naik lift."

Kadita menelan saliva dengan susah payah. "U-unit saya di lantai berapa?"

"Tiga puluh, Bu."

Wajah Kadita menegang disertai peluh yang merembes keluar. Menaikki tangga hingga lantai 30 atau sebaliknya, akan menguras tenanganya. Mengingat, dia bukan atlet. Mau tak mau, wanita itu harus menghadapi ketakutannya. Tidak hanya di kantor, tetapi juga di huniannya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke lantai tujuan. Saat pintu lift terbuka, Kadita dapat melihat hanya terdapat empat pintu hunian di sana. Berbeda dengan aparthotel tempat dia tinggal seminggu terakhir ini yang terdiri dari 30 unit per lantai.

"Unit Ibu yang di ujung sini. Untuk lantai atas, dari dua lima sampai tiga puluh hanya ada delapan unit, Bu. Kalo lantai bawahnya ada dua belas unit," ujar pak Gerald sambil menyentuh kotak berwarna hitam. Tak berapa lama, cahaya berwarna hijau menampilkan angka-angka yang berurut, layaknya papan telepon umum. "Kalau sudah terdengar bunyi begini, artinya kunci sudah terbuka. Ibu tinggal dorong perlahan aja pintunya."

Kadita melongok ke dalam unit yang akan ditempati. Pak Gerald menyalakan saklar lampu. Wanita itu dapat melihat betapa luas tempat tinggalnya.

"Kasur sudah ada, kitchen set, sama kamar mandi udah tinggal pakai. Barang lainnya bisa Ibu beli sendiri," ujar pak Gerald. "Saya tingga, ya, Bu. Di meja ada tata cara mengganti kata sandi hunian. Dan juga nomor-nomor penting. Selamat beristirahat, Bu."

Sepeninggalan pak Gerald, Kadita berjalan mendekati jendela yang berukuran besar. Pemandangan ibukota bisa dilihat olehnya tanpa halangan apapun. Namun, ada hal besar yang harus dia taklukan untuk bisa menikmati lansekap ini: lift.

Setelah puas menikmati suguhan pemandangan, Kadita beranjak untuk mengganti kata sandi huniannya. Dia membaca petunjuk dengan saksama, sebelum berjalan menuju area masuk unitnya. Namun, sebuah suara menghentikan gerakan tangan Kadita yang hendak mendorong pintu keluar.

Suara wanita mengikik terdengar tak jauh dari unitnya, disertai suara kecup yang berulang. Selepas itu, suara tombol angka yang dipijit, tertangkap oleh indra pendengarannya. Disusul suara keras pintu yang bertemu dinding. Lalu tertutup, sama seperti cara pintu itu terbuka. Kadita mengurungkan niatnya. Dia pun memilih beristirahat, meski rasa tak nyaman masih menyelimutinya.

Kadita berharap rasa nyaman akan didapatnya dari tempat ini. Namun, harapan itu pupus. Saat wanita berkemeja itu hendak menutup pintu unitnya pada keesokan hari, Arya, Langit, dan Arjuna melakukan hal yang sama dari dalam hunian mereka masing-masing.

 Saat wanita berkemeja itu hendak menutup pintu unitnya pada keesokan hari, Arya, Langit, dan Arjuna melakukan hal yang sama dari dalam hunian mereka masing-masing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now