Propaganda

689 53 2
                                    

"Ken, abang capek sama kelakuan petinggi-petinggi di partai itu," kilah Kale suatu saat habis pulang rapat bersama dengan sebuah partai politik yang gerak-geriknya sudah cukup lama di blantika politik Indonesia tersebut.

"Emang kenapa lagi, bang?" Kendra duduk di sofa kecil di kamar tidur tempat ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama kakak laki-lakinya tersebut.

"2 tahun lagi pemilu dan rapat kali ini kurang lebih membahas soal metode kampanye pemilihan caleg dan capres. Dan ini yang bikin gue makin kecewa sama orang tua kita yang nurut-nurut aja sama keputusan aneh ini," keluh Kale pada sang adik.

"Ya susah bang, semuanya ujungnya duit. Gue sendiri curiga mama sama papa juga kecipratan 'duit' itu," ujar Kendra blak-blakan.

"Kalo itu gue ga berani ngomong sih, tapi yang jelas, Ken. Gue ga suka sama keputusan ini," tegas Kale.

"Emang keputusannya apa?" tanya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tersebut sambil memajukan tubuhnya, kepo.

Dan malam itu, Kale menceritakan hasil rapat melelahkan yang membuat dirinya kesal tersebut. Intinya, rapat itu berisi agenda kampanye partai politik yang hendak melibatkan artis mancanegara. Hal itu membuat geram Kale lantaran negara asal artis yang hendak mereka gandeng tersebut adalah negara yang begitu sensitif soal politik.

Dari riset kecil yang dilakukan pemuda seratus tujuh lima senti tersebut, negara itu bahkan tidak mengizinkan para artis ini untuk mengenakan baju berwarna senada dengan partai, melakukan gestur khas partai tertentu, maupun membicarakan tentang partai tersebut ketika periode kampanye dan pemilihan umum.

Kalau kata mama, 'Sudah lah, Le. nggak usah dipikirin. Ini urusan orang-orang besar. Kamu kan cuma nggantiin papamu aja'. Artinya, Kale nggak ada hak buat buka mulut dan ikut dalam perdebatan itu.

"Aneh banget. Kenapa mereka pake orang luar instead of artis lokal?" kilah Kendra.

"Artis itu lagi digandrungin sama kalangan muda. Intinya, tujuannya buat ngegaet anak muda, Ken," Kale mendengus.

"Tapi kalo dipikir-pikir, kampanye pake artis lokal aja udah jadi topik sensitif, kenapa mereka jadiin artis luar negeri untuk penggaet?" ini salah satu pertanyaan kritis Kendra yang nggak akan bisa terjawab Kale.

"Entahlah, Dek. Papa dan mama nggak ngebiarin gue ngomong apapun di sana. cuma manggut-manggut aja kayak boneka pajangan di mobil," Kale mendengus kesal.

"Bisa nggak sih kita nggak jadi anaknya papa sama mama, Bang?" pertanyaan itu meluncur dari kekesalan Kendra pada keputusan partai tempat papa dan mama, serta Kale, menjadi anggota kader.

-----

Hari ini Kendra datang ke kampus buat ngerjain skripsi di perpus dan nongkrong sama Sasi dan Jett, orang-orang yang berteman sama Ken bukan karena motivasi khusus. Keduanya, Sasi dan Jett sudah dekat dengan pemuda seratus tujuh dua senti itu sejak SMA. Kini, Sasi mengambil jurusan International Affairs, Ken di jurusan Ilmu Politik, dan Jett di jurusan Public Relations. Ketiganya berdiri di bawah naungan fakultas yang sama, hanya peminatannya yang berbeda.

Ketemuan hari ini sebenarnya hanya akal-akalan Kendra biar dia bisa ketemu dan cerita ke Jett dan Sasi soal apa yang didengarnya dari kakaknya semalam. Tapi, dari tadi yang akrab disapa Ken itu nggak ngomong apa-apa, cuma bengong sambil mainin mi godog di mangkuknya yang kini bentuknya udah ngembang karena cuma dimainin doang.

"Lesu amat, Ken. Ada apa?" tanya Sasi yang bingung mendapati sahabatnya melamun.

"Gue kecewa, Sas. Kenapa sih gue lahir di keluarga yang bergelut di politik kayak gini?" Ken menghela nafasnya.

Be Your Own Guerrilla 1.0  [ATEEZ SHIPS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang