2. MASIH MENCINTAIKU

1.3K 166 83
                                    

Sebagaimana kebiasaan kebanyakan orang di suku bugis yang akan melaksanakan acara pernikahan, sekarang ini rumah Mey juga sudah ramai meski perhelatan masih 2 minggu lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebagaimana kebiasaan kebanyakan orang di suku bugis yang akan melaksanakan acara pernikahan, sekarang ini rumah Mey juga sudah ramai meski perhelatan masih 2 minggu lagi.

Warga yang membantu dalam persiapan tersebut terbagi menjadi tiga bagian. Bawah kolong rumah dan sekelilingnya, diurus para pria. Dapur dikuasai ibu-ibu membuat bumbu dan kue. Sementara bagian tengah yang merupakan bagian paling luas di rumah ini, tempatku sekarang duduk ditemani Mey, diisi oleh para anak bayi dan balita yang bermain sambil menonton televisi.

"Pulang aja, Suf. Bapak tidak bakal menemui kamu." Meylina berdiri di samping jendela kaca besar. Tatapan wanita itu nanar menembus benda bening di hadapannya. Dia memejam mata, menarik napas panjang sepersekian detik lalu mata sendunya kembali menatap ke arah bawah.

Aku mengikuti arah pandang Mey,  memanjangkan sedikit leher. Tidak jauh dari pagar ulin pemisah halaman rumah dan jalan, di antara asap rerumputan basah dan daun kering dibakar, Pak Kades sedang berkeliling membawa piring berisi kotak-kotak rokok.

Beliau bergerak bersama nampan berisi batang-batang rokok. Menawarkan gulungan berisi campuran tembakau dan cengkeh kepada kerumunan pria perangkai tarup dan panggung pelaminan.

Sesekali terlihat tangan beliau menepuk pundak salah satu kenalan, berbicara sedikit, dan berakhir saling tertawa.

Senyum Pak Kades sumringah. Tidak seperti beberapa minggu lalu saat dia datang menghajarku sambil meneriakkan kata-kata hinaan.

Aku tidak ingin berspekulasi tetapi bisa saja beliau sudah berdamai dengan perbuatan kami dan berusaha menyembunyikan lukanya.

"Sudah mulai ramai."

"Heum," guman Mey masih menatap keluar jendela. "Bahkan sejak 3 minggu lalu."

"Kupikir hanya di KUA." Aku sempat merasa lebih tenang. Menikah di KUA hanya perlu beberapa orang, semakin sedikit jumlahnya, semakin kecil ruang penyebaran rumor. Namun tidak begitu pendapat sang Kades, beliau rupanya ingin pesta paling megah untuk anak kesayangan.

"Aku anak satu-satu. Tidak merayakan artinya rumah kami tak pernah ada pesta pernikahan." Mey berbalik, membiarkan kaca besar jendela rumah menahan punggungnya.

Aku mangut-manggut. Kepalaku kosong untuk menangkal tuturan Mey. "Kamu benar. Aku tidak berpikir sampai sana."

"Karena kamu hanya memikirkan diri sendiri."

Kepalaku terangkat, menatap Mey dalam-dalam. Tentu. Bagaimana aku tidak memikirkan diriku sendiri jika pernikahan pertamaku dipertaruhkan, batinku menyuruhku mengatakan itu pada Mey. Tetapi aku memilih mengutarakan hal lain. "Hanya dengan melihat banyaknya tiang-tiang tarup terpasang. Aku yakin Om akan mempersiapkan pernikahan yang akan diingat semua orang sampai 10 tahun kemudian."

Sudut bibir Mey tertarik ke atas, tidak lebar, tetapi cukup mengirimiku sinyal bahwa dia tersinggung atas kalimatku barusan. Mey mendekat, mengambil tempat tepat di hadapanku. Posisi kami dipisahkan meja kaca persegi panjang berbingkai kayu jati. Dia memangku tangan di paha, seperti memberi isyarat siap mendengar alasanku kemari.
Bola plastik salah seorang balita menggelinding dekat kakiku. Anak perempuan bermata sebulat biji buah kelengkeng itu berbinar. Boleh jadi dia mengharapkan aku melempar kembali padanya. Sayang, aku tak peduli, tidak mau juga mencari muka depan Mey.

YUSUFWhere stories live. Discover now