14. Jatuh hati pada waktu yang terlambat

786 126 60
                                    

Bagaimana memberitahumu bahwa kesunyian kepergianmu
Lebih sepi dari bajak laut ditengah lautan yang kesepian?

Aku terapung tak berjiwa
Hatiku pekat oleh derita
Penyesalan ini menggerogoti kalbuku
Seolah tercabik-cabik rasa pedih yang tak kutahu di mana letaknya

Kembalilah ....
Barangkali itu menolongku dari nelangsa
Bahwa hidup esok masih mampu kujalani
Bahwa patah hati ini hanya sementara
Bahwa pergimu hanya gertakan semata
Agar aku tak lagi menjadi pengecut yang curang

Kumohon ....Katakan begitulah skenariomu ....

"Bagaimana dengan Yusuf?" Samar-samar suara laki-laki tua menanyakan kabarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana dengan Yusuf?" Samar-samar suara laki-laki tua menanyakan kabarku. "Kudengar dia semakin sering mengingaukan istri pertamanya. Saat diceritakan detailnya aku buru-buru kesini."

Bagian sisi lain kasurku menurun, seseorang pasti duduk di sana, di bawah dekat kakiku. Aku tidak begitu tahu karena bergelung dalam selimut. Pijatan tangan renta mulai terasa menekan-nekan betis meski dari luar selimut.

"Terimakasih Daeng Cambang sudah menjenguk Yusuf. Padahal Daeng belum istirahat sehabis perjalan panjang dari Sulsawesi."

"Ah, jangan dipikirkan. Jadi kenapa sebenarnya Yusuf ini?"

Ambokku menghela napas, terdengar penuh beban untuk orang tua seusia beliau. "Seperti yang Daeng lihat. Setiap hari dia begini, menggulung dirinya dalam selimut, makan sudah mau tapi beberapa kali dalam seminggu masih perlu bantuan infus."

Mendengar Ambokku mengatakan itu, aku jadi sadar ternyata kondisiku sungguh menyedihkan beberapa bulan terakhir. Aku sepenuhnya sudah baikan dan mampu untuk duduk tetapi kuurungkan sebab tak punya cukup muka untuk bertemu tatap dengan Kaik Biak—sepuh yang dihormati di kampung kami. Desas desus di luar sana mungkin sudah melebar bahwa aku terpuruk karena ditinggalkan Aling, bahwa aku kehilangan kemampuanku berbicara dan bersosialisasi dengan orang lain karena mentalku rusak akibat dicampakkan istri. Berita itu tidak sepenuhnya salah. Jiwaku terguncang, aku sering ketakutan karena kukira siapapun yang berbuat baik padaku ingin menyakiti seperti Aling yang sudah menikam-nikam perasaanku tanpa ampun.

"Tidak kutahu kenapa anakku seperti ini. 2 minggu di rumah Mak Pessa pulang-pulang dia seperti mayat hidup. Waktu lihat darah di kaki Jodi yang tertebas parang saat merintis samping rumah, Yusuf panik dan berteriak meminta tolong karena katanya dia kesulitan bernapas kemudian tak lama tiba-tiba dia pingsan. Setelah itu, berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan Yusuf seperti mayat hidup. Ada kalanya kami beranggapan bahwa dia mungkin segera menyerah pada hidup. Lihatlah tubuhnya Daeng, kering selayaknya tenggkorak hidup. Mengikuti pergantian hari dan bulan dengan bantuan cairan infus tidak begitu membantu. Dia hidup tapi tanpa jiwa. Dia tidak ingin makan apapun, lambungnya juga menolak semua jenis makanan. Setiap ada yang masuk ketenggorokannya, maka dia akan muntah. Saat parah-parahnya dia juga berhalusinasi. Kami pernah mendapatinya diri hari di rumah Mak dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan karena hari itu badai petir. Itu membuat kami akhirnya memutuskan meminta bantuan psikiater dan pernah sebulan penuh menempatkan perawat di rumah ini agar jika sewaktu-waktu dia mengamuk dia bisa diberi suntikan penenang. Buang air kecil dan besar bahkan harus dibantu Jodi. Dia tidak bertenaga karena tidak mau menelan makanan. Dia juga tidak mau berbicara dengan siapapun. Dia tidak mau berbagi perasaannya pada kami. Jadi kami tak pernah tahu apa yang dirasakan, apa yang dia inginkan. Sehingga kami kesulitan memahami perasaannya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Kalau ini perihal Aling, aku kira Yusuf berlebihan menanggapi cobaan rumah tangganya. Harusnya dia bangun dan keliling dunia dunia mencari istrinya itu hingga ketemu. Bukan berlagak macam ini, menyiksa diri, anaknya dan kami semua. Dia bukan lagi remaja yang harus merajuk ketika kehilangan mainannya. Dia harusnya bangkit, mengurus anakknya dengan baik karena dia satu-satunya harapan Langit. Lalu saat Aling kembali dia bisa memamerkan pada istrinya pengorbanan besar yang dia lakukan. Kenapa Daeng? Kenapa anakku bodoh sekali? Kenapa dia menghukum dirinya dengan cara begini? Kenapa dia tidak menggunakan otaknya? Dia pintar, dia lulusan terbaik di jurusannya? Kenapa kepintarannya tak berguna di saat genting begini? Kenapa anakku rapuh sekali Daeng? Kami renta, Langit terlalu kecil dan Jodi cepat atau lambat akan segera meninggalkan rumah ini untuk pendidikan atau mungkin menikah. Kalau dia tak sembuh bagaimana nasib kami? Bagaimana nasib anaknya? Kami lelah, seperti harapan hidup kami samar di depan sana," kata Ambo pilu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YUSUFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang