3. HARI-HARI MENJELANG MENDUA

1.2K 179 100
                                    

"Bang! Semakin Aling pikirin semakin ingin kuinjak batang leher teman Abang itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bang! Semakin Aling pikirin semakin ingin kuinjak batang leher teman Abang itu. Kasih tahu siapa orangnya, Bang. Biar istrimu ini adukan dia pada istrinya." Tiba-tiba saja Aling menghempaskan celana levisku yang barusan dia sikat pada permukaan semen. Busa sabun di kain kerjaku itu terlempar ke segala arah. Tidak hanya sekali, Aling melakukannya berulang-ulang. "Gatal sekali, sih! Sudah punya istri kok masih mau nambah. Memangnya satu kurang? Harus sekali punya dua? Mau pamer atau apa?" Si Calon ibu mencelupkan celana suaminya dengan gerakan kasar ke dalam ember bekas oli yang sengaja kubawa pulang dari tambang.

"Alibi mau tanggung jawab. Tai sapi-lah, Bang. Paling teman Abang itu punya kebiasaan seperti Bonoba! Abang tahu, Bonoba? Itu, Bang, primata yang suka kawin dan ganti-ganti pasangan. Nah, teman Abang kayak gitu. Tapi Bonoba terdengar keren di telinga, bagaimana kalau monyet? Lebih kasar dan jauh lebih cocok buat teman Abang itu." Aling masih mendumel. 'Aktifitas' kami semalam rupanya tidak melegakan hatinya.

Sebenarnya pemicu uring-uringan Aling juga salahku. Karena tidak kunjung tenang memikirkan pernikahanku dan Mey yang sebentar lagi akan diadakan, aku menceritakan masa laluku bersama Mey dengan berbual bahwa itu kisah teman. Aku ingin tahu bagaimana pendapat Aling tentang poligami.

Kupikir istri cerewetku akan menenangkan hati ini dan memberi saran. Rupanya keliru, sedari bangun pagi hingga matahari menyapa, mulut Aling tak sudah-sudah menyumpahi juga mengata-ngatai aku dalam versi kisah temanku.

"Abang sudah bilang, temanku punya alasan, Sayang." Aku berusaha membela diri walaupun dengan sangat hati-hati. Kesalnya, Aling tidak membedakan sasaran. Salah ucap sedikit, dia akan mengomel sepanjang hari untuk hal yang sama. Aling tak kenal letih. Jika mulutnya masih mampu menerima makanan, maka kamus menggerutunya juga tak akan habis.

"Jangan kebiasaan bela teman monyet kaya gitu, Bang. Pernah dengar nasehat 'jika berteman dengan penjual minyak wangi, maka akan ketularan wangi? Nah, kalau Abang karibnya sama tukang kawin, nanti tanpa sadar bakal ketularan jadi tukang kawin juga. Mau memangnya?" 

Sekali lagi, Aling menghempasan kain dengan sangat kencang. Air juga busa dalam wadah bekas oli kembali muncrat kemana-mana. Sebagian malah mengenai wajahku. Aling menggeser kasar ember hitamnya. Ia mengubah posisi duduk. Kursi pendek yang terbuat dari papan bekas yang tingginya tidak lebih dari 5 centi meter mengarah padaku.

"Aling serius, Bang. Jangan sekali-kali berpikir mengikuti jejak si Monyet teman Abang itu. Banyak hal yang bisa Aling maafkan dari Abang di kehidupan pernikahan kita sekarang maupun depannya. Hanya saja perlu Abang ingat. Mendua dan memukul tidak masuk dalam catatan perbuatan yang dapat kumaafkan. Abang tahu kan, sayangku ke Abang tidak bisa di ibaratkan dengan apapun. Jadi kalau Abang ketularan sifat buruk si Simpanse itu, hanya dua pilihan. Abang yang sekarat atau Aling yang mati!" Tidak main-main peringatan itu. Di depanku saat ini seperti bukan melihat Aling istriku yang ke kanak-kanakan, melainkan harimau betina yang sedang mengintimidasi lawannya.

YUSUFWhere stories live. Discover now