9.1. KAPAL KITA SUDAH KARAM (2)

1.8K 183 43
                                    

"Kak, masih lama?" Jodi, anak yang Ammak lahirkan setelahku menyentuh bahu kakaknya pelan, "sudah hampir 2 jam, sebentar lagi gelap. Katanya kita juga akan mampir di rumah Kak Aling." Adikku sedikit menunduk, angin sepoi yang berhembus di pemakaman sore ini menerbangkan anak-anak rambutnya.

Aku menatap nanar tangan Jodi, dia menarik tipis kedua sudut bibir. Sayang sekali, senyum Jodi tidak menular dan tak bisa memberi sedikitpun penghiburan. Dada ini terlajur penuh sesak-mungkin oleh dosa, kesedihan dan penyesalan- bisa bernapas dengan baik saja sudah sangat aku syukuri.

"Kakak masih ingin di sini, Jod, 10 menit lagi, ya. Tunggu di mobil saja," kataku lirih sambil menatap sendu tanah yang menempel pada telapak tangan. Warna kecoklatan, orang-orang menyebutnya warna perpisahan, warna kehilangan dan warna kesedihan. Itu berasal dari gundukan di depanku, belum kering sempurna karena belum genap 1 bulan seseorang tertidur panjang di bawah sana, "pergilah, Kakak ingin berpamitan dengan benar. Ada kamu di sini, membuat Kakak malu," usirku sopan.

"Panggil aku kalau Kakak sudah selesai." Jodi berjongkok di sisiku, dia memegang nisan papan bertuliskan nama bapaknya mertuaku, "beliau orang baik, pasti Allah berikan tempat terbaik di sisiNya. Kakak jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."

Jangan menyalahkan diri sendiri? Bolehkah aku berpikir demikian?

Sementara jika aku tak berenang dalam dosa besar di masa lalu, bermain dengan gembira bersama Mey di sana, bertahan cukup lama, dan menganggap noda-noda yang kami ukir adalah cinta paling manis di muka bumi, tentu saja petaka ini tidak akan terjadi.

Sudah berapa orang yang mencoba menguatkanku, mengatakan, Yang terjadi biarlah terjadi. Sudah ketetapanNYA, tak dapat diubah meski aku merangkak memohon dan menangis seperti anak kecil.

Itu benar! Tak salah sedikitpun. Aku tak akan mendebat argumen mereka yang berusaha menghibur. Tapi bagaimana caranya aku memasukan pemikiran itu dalam kepalaku, sementara tempurung otakku sendiri telah penuh penyesalan yang menyalahkan; aku yang membunuh bapak, aku yang membuat Aling menderita, aku pula yang membuat kami kehilangan buah hati.

Saat ini aku kesulitan menerima nasihat baik. Bukan aku yang menolak tapi hatiku yang tak terima. Pendosa, pengkhianat, dan pembohong macamku mana pantas menerima penghiburan, mana boleh diberi kekuatan.

"Bukan begini akhir yang kita rencanakan. Kata bapak semua akan baik-baik saja, kenapa jadi seperti ini, Pak?"

Hening, hanya ada suara desau angin.

"Pak... setidaknya, berpamitanlah pada menantumu ini ...." Meski Jodi sudah tidak bersamaku, tetap saja kutahan air mata agar tak jatuh menyentuh rumah terakhir bapak mertua, karena aku merasa tidak layak. Meratapi kepergian beliau hanya boleh dilakukan oleh mereka yang tak mengalir dosa zina di tubuhnya.

Angin kembali berhembus di pemakaman ini, semilir lembutnya hantarkan sedih menusuk kalbu. Aku mencium nisan mertuaku, membisikkan permohonan maaf yang tak akan pernah tersampaikan.

Aku berpamitan setelah menumpahkan semua keluh kesah yang aku alami semenjak kepergian beliau.

Lembayung senja mengiringi langkah bapak satu anak meninggalkan area perkeburan. Di bagian kemudi, Jodi sudah menungguku bersama suara mesin mobil yang sudah dihidupkan.

Langit memerah, area pemakaman tertinggal jauh di belakangku, dari atas mobil yang mulai berjalan menuruni bukit, mataku menangkap bayangan kecil para petani meninggalkan sawah-sawah mereka.

Aku menekan dadaku. Kudapati debaran kencang, bertalu-talu sangat ribut. Ini senja yang tenang, tetapi hatiku tak tenang.

***

YUSUFWhere stories live. Discover now