12. MANA BOLEH KAMU CAMPAKKANKU!

961 125 19
                                    


Ling...
Kamu lelah
Kamu marah
Tapi kata siapa kamu boleh berlaku begini?

Pembalasan?
Mestikah sekejam itu?
Harus kukunyah bara merapi mana agar kamu percaya?

Padahal untukmu, Ling....
Rela kuhinakan diri demi satu pengampunan.

Itu tak jua mengenyangkan dendammu?
Mestikah dirimu kian membatukan hati?
Bagimu tak ada hukuman paling pantas selain menggunting tali jodoh antara kita
Hanya sepanjang itukah penilaianmu atas kesungguhanku?

Berpisah?
Memutus ikatan kita?

Mana bisa begitu!
Mana aku mau!
Mana aku sudi!

Sekalipun Malaikat Izrail menebas leherku
Demi samudra fasifik dan badai yang mengamuk di atasnya.
Puri perkawinan kita tak akan pernah aku karamkan, Ling.

Kamu menggila... silahkan saja!
Sangat menggila... akan kumaklumi.

Namun...
Siapa bilang kamu boleh lancang melarikan diri?

_______________________

'Kalau Abang kuliti badanku niscaya Abang hanya akan menemukan cinta yang besar di sana'

'Bang tahu tidak kalau Abang itu abadi di hati Aling, tidak pernah terpikir sedikit pun berhenti cintai Abang'

'Aling kira Tuhan hanya ciptakan Nabi Yusuf yang tertampan di dunia, Aling keliru, ternyata ada beberapa dan salah satunya lagi baring di samping Aling. Mana boleh Aling jauh-jauh dari orang ini'

'Katak bernapas pakai kulit, ikan bernapas pakai insang, kalau Aling napasnya ada di Abang, tidak mau jauh-jauh ah takut kehabisan oksigen'

'Abang tahukan kalau Abang itu pusat tata suryanya Aling?'

Aku mengingat-ingat lagi kalimat perempuan itu, menduga-duga barangkali dia pernah terucap tentang meninggalkanku, tentang menyakitiku, tentang mencampakkanku, tetapi meski kukumpulkan partikel-partikel terkecil dari ingatan, tak kudapati sekata saja ucapannya dahulu yang memberi petunjuk bahwa dia akan pergi dariku dengan cara sekejam ini.

Sementara otakku berlarian mencari janjinya dahulu, hatiku justru kian menjerit kesakitan, seperti ada yang mencabik-cabiknya di dalam sana, perih itu merajai hingga rasanya aku perlu membelah dada agar rasa pahitnya berkurang.

"Makkk... tolong Yusufff," rengekku belum mau mengangkat kepala dari sujud. Di bawah sana air mataku jatuh satu demi satu membasahi ambal biru lusuh di rumah mertuaku. "Dia kemana, Makk ... beritahu Yusuf, Makkk ...."

"Ahh ... ooaaa ... bhuuuuhhh ...."Bayiku yang menyahut, mungkin dia mengira aku sedang berbicara padanya, atau mungkin dia sedang mengajakku bermain sebagaimana yang kerap kami lakukan di hari biasanya. Sementara orang yang aku panggil-panggil sejak tadi tak menyahut, dia mengunci pintu dalam kamar anaknya yang lancang itu.

Hari ini tepat dua minggu setelah kedatanganku waktu itu. Kali ini hanya aku bersama Langit yang datang, Indo dan Ambo tak ikut, biar kami berdua yang menyelesaikan masalah rumah tangga kami, jika tak berhasil baru para orang tua turun tangan, begitu katanya.

Janji yang Min ucapkan tak kunjung terealisasi, aku menunggu berhari-hari, tetapi waktu yang kunanti tak kunjung tiba.

Min bisa jadi tak terlalu mengupayakannya, dia mana tahu tersiksanya menunggu, mana paham apa itu damba jadi dia biasa saja mengulur-ngulur waktu, begitu kadang-kadang pikiran burukku.

Aku terlampau rindu, tak lagi bisa menahan sabar, tidak bisa lagi memanjangkan sabar, maka dari itu aku berinisiatif membawa Langit ke rumah Mak Pessa.

Akan kutunjukkan buah hati kami padanya, Aling tidak mungkin tak tersentuh.

YUSUFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang