9. KAPAL KITA SUDAH KARAM (1)

1.5K 175 103
                                    

Nona ...
Katamu, tak peduli kutub utara mencair
Tak masalah bumi terbelah
Tidak jadi persoalan meminum racun dari tanganku.

Asal aku di sisimu
Asal aku bersamamu
Semua itu bukan apa-apa

Tapi apa ini, Nona?
Dusta terbesarmu?
Sandiwara terepikmu?

Saat kutambah satu awak di perahu kita
Kamu terpukul
Kamu berontak
Tak terima
Merasa terkhianati

Saat bahtera kita di tengah lautan
Terombang ambing kepercayaan yang kian menipis
Aku masih yakin
Kita akan selamat
Meski memerlukan banyak tambalan

Aku keliru, Nona
Rupanya kamu menolak menghadapi badai
Memutuskan melompat membawa pemberat
Memilih tenggelam memeluk kemarahan

Percuma Nona aku berteriak
Kamu sengaja rungu atas panikku
Kamu lebur bersama ombak
Hilang bersama waktu
Disembunyikan oleh benci

Nona ... tunjukkan
Samudera mana yang harus kuselam untuk temuimu!

Aku rindu
Tidak ....
Aku sangat rindu
Hingga mengigil nyaris mati

_____________________________

"Sama siapa, Dek?" Aku menyapa Mey yang berdiri di hadapan ruangan berkaca besar, dia sedang memandang bayi dalam ruang inkubator. Dari samping aku melihat matanya berbinar, seperti seorang ibu yang tak sabar ingin mendekap buah hatinya

Mey berbalik, sedikit tersenyum tetapi urung ketika melihat tanganku menenteng kresek bening berisi minyak telon besar dan beberapa lembar koyo. Mendung di wajah Mey seketika menggantung, raut iba kentara sekali. Aku tersenyum salah tingkah mendapati ekspresi seperti itu tertuju padaku. Sembari menggaruk leher belakang aku menuju kursi tak jauh dari Mey, lalu pura-pura memeriksa isi kantong belanjaanku.

"Tidak ada yang menggantikan, Abang?" Begitu tanya Mey.

Pupilku menatap sekilas anak kesayangan kepala desa, ia tampak geram. "Jangan mengasihani Abang, Dek. Abang baik-baik saja. Mamak, bapak dan Jodi sering kemari."

Mey jelas tidak puas dengan jawabanku. "Mereka?" Aku tahu pertanyaan itu ditujukan untuk keluarga Aling.

Mereka, ya ...? Aku bahkan sempat lupa memiliki keluarga lain selain Mamak, bapak dan Jodi. Lagipula memangnya aku masih pantas meminta bantuan mereka? Jika kuingat-ingat lagi, semenjak kejadian itu kami hanya bertemu satu kali, itu pun di rumah sakit ini, saat pertama kali Aling membuka mata setelah berjuang melewati kematian.

Pertemuan itu pun hanya berisi pertengkaran. Mereka mengusirku, mencaci dan merendahkan, melemparkan semua kesalahan padaku. Katanya, aku 'lah penyebab kepergian dua anggota keluarga mereka.

Sebenarnya tanpa teriakan mereka pun aku sadar diri, kesalahanku memang tak termaafkan. Jadi meski mereka menggunakan kalimat paling kasar di dunia ini, aku tak tersinggung. Bukan karena merasa pantas disumpahi, melainkan aku sudah mati rasa. Tepatnya, kesulitan membedakan, mana sakit hati, mana sakit fisik, mana kesedihan, mana kekecewaan.

Awalnya begitu sangkaku tentang hampa yang aku alami, namun tidak berlaku pada kalimat Aling. Tidak ada panggilan 'Abang' lagi, dia sudah menggantinya dengan sebutan yang akhir-akhir ini akrab denganku-penghianat-dan itu sangat menyakitiku.

"Aling lebih perlu mereka."

"Lalu anak kita? Tidak butuh mereka?" Mey berdecak.

"Mey, tolong... jangan menambah perasaan bersalah Abang. Dia anak Abang dan Aling. Bukan anak kita."

YUSUFWhere stories live. Discover now